Mengenal “ROOTS”, Program Anti Perundungan

sumber gambar : https://www.unicef.org/indonesia/sites/unicef.org.indonesia/files/styles/media_large_image/public/_DSC0108-edit.jpg?itok=O62JfGRE

Sekolah masih saja menjadi tempat yang bebas bagi sebagian orang/murid untuk melakukkan aksi perundungan. Hal tersebut harusnya menjadi peringatan bagi kita bahwa seharusnya sekolah menjadi tempat aman, nyaman dan menyenangkan bagi seseorang untuk mendapatkan ilmu, teman, dan pengalaman.

Kali ini datang kisah dari Klaten, Jawa Tengah. Pemerintah kabupaten Klaten bersama dengan dukungan UNICEF tengah mengembangkan Program Anti Perundungan yang bernama “ROOTS”. Program ini ditujukan untuk membantu anak – anak yang menjadi korban perundungan agar menemukan cara positif untuk mengatasi aksi perundungan.

Devi Tulak Astuti salah satu siswi sekolah menengah pertama SMPN 3 Klaten yang menjadi anggota dari Program Anti Perundungan “ROOTS”. Mengaku sebelum ia menjadi anggota dan ikut peran dalam ROOTS, sebelumnya ia juga merupakan korban dari aksi perundungan yang terjadi di sekolahnya.

Sempat ia membalas perilaku aksi perundungan tersebut namun yang terjadi malah keadaanya semakin memburuk. Saat program anti perundungan bernama ROOTS masuk ke sekolahnya, Devi pun sadar mungkin ada cara yang lebih baik untuk mengatasi situasi yang ia alami. Ia segera mengajukan diri untuk ikut serta. “Saya ikut karena saya sendiri mengalami di-bully,” katanya. “Saya ingin membantu mengubah sekolah agar tidak ada murid lain yang mengalaminya.” Program ini diujicobakan di empat sekolah dan kini sudah diperluas ke dua sekolah lain.

UNICEF Child Protection Officer Naning Julianingsih menjelaskan bahwa, “Masalah mendasar di sini adalah masyarakat Indonesia tidak menganggap perundungan sebagai masalah serius. Mereka melihatnya sebagai bagian wajar dalam kehidupan anak-anak dan kehidupan bersekolah. Secara sosial, perundungan diterima. Ada juga guru yang menghukum pelaku, tetapi alasan perbuatan itu sendiri tidak diatasi. Program Roots berupaya mengubah itu.”

Bagaimana program ROOTS bekerja ?

Fasilitator ROOTS mengikuti pelatihan yang materinya dirancang pemerintah dengan dukungan UNICEF. Pertama, anak-anak diminta menilai situasi di sekolah mereka menggunakan U-Report, platform dunia maya berbasis media sosial untuk mengadakan jajak pendapat secara anonim. Menggunakan cara ini, di SMPN 3 Klaten ditemukan bahwa 74% murid pernah mengalami perundungan, rata-rata 4 hingga 5 kali sepekan. Jenis-jenis perundungan pun beragam, mulai dari anak dipukul, dicubit, diejek, digosipkan, dan dirundung di dunia maya.

Setelah mengetahui situasi yang ada, fasilitator belajar bekerja bersama anak dan remaja untuk mengubah perilaku negatif menjadi positif. Mereka membantu para murid membuat kampanye sendiri berdasarkan permasalahan yang ada di sekolah mereka. Membuat poster, menyusun rencana kerja untuk melawan perundungan di sekolah, dan mencontohkah perilaku positif adalah contoh bentuk-bentuk kampanye yang bisa dilakukan.

“Kami mendorong para fasilitator untuk mendengarkan anak-anak, mengetahui alasan perundungan, dan mendiskusikan cara-cara mengatasinya,” jelas Naning. “Biasanya, pelaku perundungan mengalami masalah di rumahnya. Mereka meniru perilaku yang mereka lihat dari orangtua atau lingkungan sekitarnya. Jadi, kita perlu tahu dulu sebab sebenarnya di balik perundungan dan mencoba mengatasinya.”

Berkat program ROOTS kini di sekolah Devi SMPN 3 Klaten telah berhasil menciptakan lingkungan yang positif untuk belajar. Kepala Sekolah SMPN 3 Klaten, Purwanta, yang baru menjabat selama enam bulan pun melihat perbandingan positif antara SMPN 3 Klaten dengan sekolah lain di Klaten, tempatnya dahulu bekerja.

“Karakter siswa di sini, baik di dalam dan di luar sekolah, berbeda,” terang Purwanta. “Di desa, setiap hari saya memergoki siwa berkelahi. Di sini berbeda sekali. Selama enam bulan di sini, saya belum pernah melihat ada satu pun perkelahian. Sikap siswa kepada sesama siswa dan kepada guru juga sangat berbeda. Mereka saling menghormati dan senang berteman.”

Menurut Purwanta, perbedaan ini tercipta berkat program ROOTS, yang menurutnya juga berhasil meningkatkan nilai belajar. “Sekolah ini tadinya menduduki peringkat 18 dari 65 sekolah di Klaten. Sejak ada program, kami naik ke peringkat 1,” tambahnya. “Jika anak bahagia di sekolah, mereka juga belajar dengan lebih baik.”

Bagi Devi, program ROOTS juga mengajarkannya hal-hal praktis yang bisa langsung ia terapkan. “Saya belajar juga mengurangi keinginan mem-bully atau merespon bullying,” katanya. “Saya belajar satu trik. Saya tutup mata dan bilang: ‘tidak boleh bully, tidak boleh bully.’ Jika saya melihat ada murid yang mem-bully anak lain, saya ingatkan mereka. Setelah tiga kali memberikan peringatan, baru saya laporkan kepada guru.”

Devi sepakat dengan kepala sekolahnya bahwa budaya di sekolah sudah berubah. “Saya tidak melihat perkelahian lagi di sekolah,” katanya .”Murid laki-laki juga berhenti mengata-ngatai saya. Dulu, suasana di sekolah tidak menyenangkan. Sekarang, saya bersemangat pergi sekolah. Saya lebih percaya diri dan nyaman dengan diri saya.”

Semoga program ROOTS segera bisa menyebar dan memasuki sekolah – sekolah di seluruh wilayah INDONESIA dan semoga berbagai aksi perundungan di sekolah juga semakin berkurang agar tercipta semangat berangkat sekolah dan belajar juga akrab bersama teman – teman di sekolah tanpa saling membedakan .

sumber artikel : https://www.unicef.org/indonesia/id/stories/pahlawan-super-di-sekitar-kita oleh Andrew Brown, UNICEF Indonesia 22 Juli 2019

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *