Category Archives: Warta Non Hetero

WHO AM I

WHO AM I?

Sebenarnya tidak terlalu penting siapa saya. Yang penting adalah apa yang saya tulis (dan dengan demikian Anda baca). Tapi in case data berikut bisa membantu Anda, inilah saya:

Nama saya Alif Hamzah, usia di atas 30, dan sejak remaja saya menyadari kondisi bahwa saya mempunyai “keistimewaan”. Keistimewaan tersebut adalah bahwa saya (dalam penafsiran saya yang kadang tidak lazim) dikaruniai kekuatan untuk menanggung cobaan yang sangat berat. Karena Allah sudah memberi kekuatan tersebut, Dia menguji saya dengan memberi saya ketertarikan kepada sesama pria.

Ketertarikan ini harus saya tanggung sepanjang hidup dan hanya orang yang tidak berperasaanlah yang mengatakan bahwa memikul ujian seperti ini bukan hal yang berat. Bagi sebagian kecil orang barangkali memiliki ketertarikan pada sesama bukanlah suatu masalah (bagi sebagian lain merupakan end-of -the-world), tapi jika Anda faham bagaimana menggelegaknya dorongan hasrat yang tidak bisa tersalurkan, sementara di sisi lain Anda meyakini bahwa keyakinan Anda melarangnya, maka kata “cobaan berat” saja kadang tidak bisa mewakili apa yang saya tanggung.

Namun demikian, karena keyakinan pula saya mampu bertahan. Jika sampai akhir hayat saya sanggup untuk tidak mengumbar hawa nafsu di arena yang tidak dibenarkan, itu karena masih ada setitik iman dalam hati.

Jika Anda dengan tulus berdoa untuk saya (dan orang-orang yang berjuang seperti saya, for that matter), barangkali Tuhan akan menjadikan titik iman itu lebih besar dari waktu ke waktu. Dan barangkali suatu saat saya bisa mencapai apa yang saya cita-citakan : ikhlas sepenuhnya dengan apa pun yang Allah berikan untuk saya. Amiin

Ini adalah blog pertama saya dan ini adalah tulisan pertama di sini. Saya akan menulis topik sebagaimana niatan blog ini dibuat : perihal homoseksualitas dan keyakinan agama.

Tulisan di bawah ini semula adalah tanggapan yang saya kirim ke sebuah bloglain untuk mengomentari topik homoseksualitas yang dia angkat. Saya meng-copy-nya kembali untuk dijadikan tulisan pertama saya.

The – path 1

Bagi sebagian orang, barangkali tema homoseksualitas adalah tema yang bikin jengah, bikin risih, dan karenanya dihindari, bagi sebagian yang lain, mungkin tema yang membuat penasaran dan karenanya dicari (dengan alasan yang sama, mungkin ada yang berpendapat mengangkat tema ini hanya upaya mencari perhatian).

Bagi saya, mengangkat tema homoseksualitas adalah berbicara tentang apa yang saya hadapi dalam hidup ini. Sangat sulit untuk menulis sesuatu secara netral, benar-benar obyektif, apalagi jika kita merupakan “obyek” yang menjadi topik pembicaraan. Tapi dengan segala keterbatasan tersebut, saya mencoba menyampaikan apa yang keluar dari hati saya tentang topik ini.

Tulisan ini insya Allah ditulis dengan semangat memberi kejelasan dan amar maruf nahi munkar, dan mudah-mudahan dibaca dengan semangat yang sama. Tidak ada judgement di sini, saya hanya menulis apa yang saya alami dan dalami. So, be prepared!

HOMOSEKSUALITAS

Saya perlu menekankan perbedaan antara kecenderungan atau dorongan terhadap homoseksual dengan aktivitas homoseksual itu sendiri. Yang pertama dikenal secara umum sebagai Same-Sex Attractions (SSA) dan yang kedua adalah perilaku atau aktivitas yang memenuhi dorongan atau kecenderungan SSA tersebut. Pelaku inilah yang dapat dikategorikan sebagai homoseksual/gay.

Yang perlu difahami, karena seseorang memiliki SSA (ketertarikan kepada sesama jenis) tidak dengan sendirinya dia menjadi homoseks atau gay (kedua istilah ini belakangan dipakai baik untuk laki-laki maupun wanita, meskipun untuk wanita lebih sering dipakai istilah lesbian). Sangat banyak orang yang memiliki SSA tapi tidak mewujudkannya dalam tindakan karena berbagai alasan. Moral, sosial, religi, medis, bisa menjadi alasan yang membuat orang tidak menindaklanjuti dorongan seksualnya.

DARI MANA DATANGNYA KETERTARIKAN ITU?

Ada dua kubu pendapat tentang asal-usul kecenderungan homoseksual. Meyakini mana dari kedua mazhab tersebut yang benar akan menentukan bagaimana sikap dan pandangan kita terhadapnya (baik Anda sebagai orang yang memiliki SSA ataupun tidak).

Teori Pertama bahwa sifat itu bawaan lahir, genetik, innate, terberi, sudah ditakdirkan.

Teori Kedua bahwa kecenderungan ini bukan bawaan lahir, dia tumbuh dan berkembang karena banyak faktor dalam masa perkembangan seseorang.

Tentu tidak banyak yang bisa dibicarakan dengan teori pertama. Kalau sesuatu dikatakan sudah takdir, sudah ada sejak lahir, apa lagi yang bisa diperbuat? Kalau Anda dilahirkan dengan rambut kriting, meskipun Anda melakukan rebounding berkali-kali, tetap saja rambut Anda akan kembali kriwil-kriwil.

Michael Jackson tidak menjadi seorang white meskipun melakukan terapi bleachingkulit berulang kali. Karena dia ditakdirkan untuk lahir dari orang tua black. Dengan pola yang sama, kecenderungan homoseksual jika sudah ada sejak lahir berarti sesuatu yang normal, merupakan ketetapan Tuhan, dan tidak bisa dirubah.

Tapi apakah demikian?

Mazhab kedua tidak meyakini hal ini. Menurut mazhab ini, setiap manusia lahir dengan fitrah. Dan fitrah awal manusia adalah mencintai atau menyukai lawan jenisnya. Pengaruh (dari berbagai arah) selama masa bayi, anak-anak, dan remaja-lah yang kemudian memberi peluang tertanamnya bibit – bibit SSA dan membiarkan SSA itu tumbuh dan berkembang subur dalam diri seseorang. Karena tidak mungkin untuk memberikan uraian lebih detail di sini, tanpa bermaksud menyederhanakan masalah, ada paling tidak tiga penyebab timbulnya homoseksualitas:

1. Karena pernah mengalami pelecehan (abuse) waktu kecil, kanak-kanak atau bahkan setelah masa remaja.

2. Karena pola asuh oleh orang tua yang tidak tepat.

3. Karena faktor lingkungan lainnya (media massa, pergaulan, perlakuan orang lain terhadapnya, pendidikan, faham-faham tertentu, dll).

(CATATAN: kapan-kapan akan kita bahas tentang ketiga faktor ini lebih dalam).

Yang paling menonjol dari faktor-faktor tersebut adalah tidak terpenuhinya kebutuhan yang sangat krusial dalam perkembangan psikologis seorang anak, yakni ikatan emosiaonal antara anak dengan orang tua sesama gender (anak laki-laki dengan ayah, anak perempuan dengan ibu). Adanya jarak atau terlepasnya ikatan emosional (emotional detachment) antara anak dan ayah (atau dengan ibu, kalau anaknya perempuan) merupakan sesuatu yang hilang dalam perkembangan seorang anak.

Karena kebutuhan emosional tersebut tidak terpenuhi (unmet) semasa kecil, terdapat semacam kekosongan dalam dirinya dan di masa remaja atau dewasa atau bahkan sepanjang hayatnya si anak akan berusaha memenuhinya. Kebutuhan akan hubungan emosional sesama lelaki (male bonding) tersebut semula tidak terkait dengan fisik atau seksual, tapi seiring berkembangnya hormon seseorang, maka ketika masuk masa pubertas, kehausan tersebut bergeser menjadi hal-hal seksual.

Keinginan dekat dengan sesama lelaki bukan lagi hanya emosional, tapi telah dicampuri dengan seksual. Hampir semua hal yang berbau lelaki akan menjadi sesuatu yang dapat membangkitkan hasrat seksualnya. Bagi seorang yang memiliki SSA, melihat lelaki lain yang memenuhi citra idealnya, merupakan suatu sensasi. Membaca nama seseorang yang dikaguminya (jangan lagi melihat wajahnya, apalagi lebih jauh dari itu), akan memberikan getaran yang sulit dimengerti orang-orang yang tidak mengalaminya. Membaca nama orang yang dikaguminya dalam deretan inbox email atau sms saja akan memberikan getaran yang (mungkin) melebihhi yang dialami seorang straight yang menerima kecupan dari kekasihnya.

Bagi mereka penganut teori bahwa homoseksualitas bukan sesuatu yang ditakdirkan, melainkan pengaruh dalam masa perkembangan, maka kecenderungan tersebut dianggap sebagai deviasi (penyimpangan) dan karenanya bisa diluruskan.

PANDANGAN AGAMA TERHADAP HOMOSEKSUALITAS

Karena saya seorang Muslim, tanpa mengurangi rasa hormat kepada non-Muslim, saya hanya akan mengutarakan apa yang saya pelajari dari agama Islam.

Di beberapa negara seperti AS dan UK, banyak organisasi yang mewadahi kaum G*BTQ Muslim (at least thats what they call themselves). Mereka biasa berpartisipasi dalam gay pride parade dengan membawa plakat sebangsa, We are gay and Muslim and proud. Dalam berargumen, mereka menekankan bahwa mereka ditakdirkan sebagai gay dan melawan kecenderungan tersebut merupakan perlawanan terhadap takdir. Mereka berdalih bahwa tidak ada ayat yang secara eksplisit melarang praktik homoseksual. Pendapat bahwa homoseksual adalah haraam karena penafsiran yang ada saat ini didominasi oleh rezim hetero.

Adapun tentang kisah Nabi Luth mereka mengatakan bahwa yang diharamkan bukanlah perilaku homoseksual yang consent (suka sama suka), diazabnya kaum Nabi Luth karena kejahatan-kejahatan lain yang dilakukan yaitu (terutama) perkosaan. Jadi selama perilaku homoseksual itu dilakukan atas dasar kasih sayang (tanpa paksaan) dan suka sama suka, bagi mereka, tidak diharamkan.

Nah, saat ini rupanya gejala tersebut bukan hanya muncul di AS atau UK (atau Eropa) saja, tapi sudah merambah ke mana-mana, termasuk ke Timur Tengah (terutama Lebanon) bahkan sampai ke Indonesia. Beberapa organisasi yang selama ini tidak diembeli label keagamaan, kini ada yang mencari pembenaran dari sisi agama.

Bagi kalangan mainstream Muslim, tentu apa yang mereka sampaikan hanyalah upaya justifikasi dari perilaku mereka. Kaum G*BTQ Muslim tersebut menilai mereka progresif dalam menafsirkan Al Quran, sementara sebagian besar yang lain menilainya sebagai upaya memelintir ayat untuk membenarkan perilaku mereka.

Dalam Al Quran sendiri ada belasan ayat yang mengecam perilaku homoseksual. Di antaranya:
An-Nisa 4:16 Al-Araf 7:80 Al-Shuara 26: 166-170 Al-Naml 27:55-57.

Perlu ditekankan bahwa yang dikecam (dan dihukum) dalam Al-Quran adalah TINDAKAN atau AKSInya, bukan KECENDERUNGAN. Artinya memiliki kecenderungan terhadap sesama jenis (SSA) bukanlah suatu dosa. Mewujudkan kecenderungan atau dorongan tersebut dalam tindakan, itulah yang dinilai sebagai dosa besar.

Jadi sebagai apakah SSA tersebut?

Sebagaimana yang sudah disebut beberapa orang, tak lain adalah sebuah ujian. Di sinilah pentingnya penggunaan istilah. Seseorang yang diuji dengan SSA, tetapi karena berpedoman kepada Al Quran dan meyakini bahwa ajaran agama melarang perbuatan homoseksual, dia tidak serta merta menjadi gay.

Bagi yang sadar bahwa SSA adalah sebuah ujian, ada perbedaan besar antara dua kalimat berikut:

a. Saya seorang gay.

b. Saya memiliki ketertarikan terhadap sesama lelaki.

Pada saat seseorang mengatakan Saya gay, maka dia memasukkan suatu konsep dalam dirinya. Konsep tentang gay ini juga tidak terlepas dari stereotype tentang gay. Dan seseorang cenderung untuk memenuhi predikat yang disematkan padanya (self-fulfilling prophecy). Dengan mengatakan diri sendiri gay, seseorang menafikan unsur-unsur lain dalam dirinya yang sebenarnya berkarakter straight. Jika kita yakin dengan kondisi fitrah kita saat lahir, seharusnya kualitas yang diperlukan bagi setiap lelaki telah ada dalam diri kita. Potensi itulah yang harus digali untuk menumbuhkan karakter laki-laki dari setiap orang yang memiliki SSA.

Dengan menyadari saya memiliki ketertarikan terhadap sesama lelaki tetapi saya bukan gay, seseorang sebenarnya telah secara sadar menepis image atau stereotype gay bagi dirinya.

Dalam Islam, semata kecenderungan atau dorongan bukanlah dosa. Ada sebuah hadist yang diriwayatkan Bukhari/Muslim tentang seseorang yang berniat jelek tapi tidak melakukannya, Allah mencatatnya sebagai satu kebaikan. Lihatlah janji Allah dalam surat Al-Bayyinah (98:8) bagi mereka yang sanggup menahan hawa nafsu dan berusaha menjaga keimanan.

Supaya tidak terlalu berkepanjangan (inipun udah panjaaang, pasti udah banyak yang bete bacanya), saya ingin berpesan kepada beberapa pihak:

1. Kepada Mereka Yang Stright

Saya tidak ingin menyebut yang straight sebagai normal, karena itu akan menjadi unfair karena konsekuensinya yang memiliki kecenderungan gay berarti abnormal.Saya sangat menghargai mereka yang memandang kaum gay dengan netral tanpa menjadi judgemental. Saya himbau kepada mereka yang mencela apalagi sampai menghujat kaum gay untuk berfikir ulang.

Tahukah Anda jumlah orang yang memiliki kecenderungan ini?

Sebuah riset menyebut jumlahnya antara 5-10% dari seluruh populasi (ok, Ok, riset lain ada yang menyebut di bawah 5%). Mengagetkan? Tentu, karena sebagian besar dari yang 5-10% tersebut tidak menunjukkan ke-gay-annya (dengan berbagai alasan) sehingga tidak diketahui orang-orang sekitar, bahkan orang terdekat sekalipun.

Pernahkah Anda berfikir bahwa orang terdekat Anda sebenarnya punya kecenderungan gay? Pernahkan terfikir bahwa tetangga Anda yang penolong itu, paman Anda tempat Anda curhat, adik yang Anda sayangi, kakak atau sepupu yang Anda hormati, sebenarnya gay? Pasti Anda akan menyebut bahwa saya mengada-ada kalau saya katakan bahwa bisa jadi ayah yang sangat Anda banggakan, atau suami (jika Anda wanita) yang begitu memanjakan Anda, sebenarnya punya kecenderungan gay?

Percayalah, itu mungkin. Dan percayalah, orang-orang dengan kecenderungan gay ini (di Indonesia) lebih banyak yang menikah dan memiliki anak daripada yang melajang. (Karena tidak mungkin saya membuktikannya di sini, Anda sebaiknya percaya saja. Just believe me, I know what Im talking about.)

Dan tahukah Anda apa yang menyuburkan ke-gay-an seseorang?

Salah satunya, adalah sikap homophobia dari mereka yang menyebut dirinya straight. Sindiran, celaan, hujatan, makian, penolakan, pengucilan, hanya akan membuat mereka semakin terikat dengan dunia mereka dan terpisah dari dunia straight pada umumnya. Dan karena adanya rasa terasing itu, mereka semakin merasa kesepian. Di sinilah kondisi menjadi semakin memburuk, karena rasa kesepian semakin memperkuat ketertarikan dan keterikatan mereka kepada kaum senasib.

Padahal yang diperlukan oleh mereka yang berusaha untuk menekan kecenderungan ini (if you know what I mean, ketertarikan itu tidak bisa dihilangkan, hanya dikendalikan) adalah bergaul secara sehat dengan sesama lelaki, terutama yang straight. Begitu mereka merasa menjadi bagian dari lelaki biasa mereka lebih bisa mengendalikan dirinya, menerima dirinya, dan menumbuhkan kualitas kelelakian dalam dirinya.

Kalau mereka semakin tenggelam dalam dunia (yang Anda nilai) sesat karena sikap Anda kepada mereka, bukankah Anda pun punya andil dalam keterpurukan mereka? (Dengan segala hormat kepada mereka yang memiliki kecenderungan gay dan menganggap kecenderungan tersebut tidak perlu dilawan : saya menghargai sikap Anda, meski saya tidak menyetujuinya). So, please, fikir ulanglah next time Anda mengeluarkan hujatan.

2. Kepada Para Orang Tua

Jika di sini ada yang sudah memiliki anak (lelaki ataupun perempuan) saya ingin berpesan : syukurilah dan jagalah karunia Allah tersebut. Berhati – hatilah dengan cara Anda memperlakukan anak Anda.

Sebagian besar orang yang ber-SSA disebabkan karena pola asuh dan pola didik yang salah oleh orang tua. Saya sempat berfikir bahwa para orang tua sekarang sudah lebih well-informed tentang bagaimana perkembangan psikologis seorang anak, sehingga seharusnya mereka lebih tahu bagaimana memperlakukan anaknya. Tapi melihat jumlah penyandang SSA dari kalangan usia muda semakin banyak belakangan ini, anggapan saya bahwa para orang tua sudah lebih tahu bagaimana mendidik anak, harus saya telan kembali.

Para ayah (juga berlaku bagi ibu, untuk anak perempuan), kapan Anda terakhir kali memeluk anak lelaki Anda? Atau tidak pernah? Berapa kalikah Anda menyuruh anak diam karena Anda kelelahan sehabis kerja? Apakah secara tidak sengaja Anda pernah menyakitinya? Pernahkan Anda melihat anak Anda merasa ragu atau takut untuk mendekati Anda? Pernahkah Anda merasakan ketidaknyamanan pada anak justru pada saat Anda ada di dekatnya? Pernahkan Anda tanpa sadar melakukan tindakan berbau pelecehan karena Anda menganggapnya sebagai suatu joke atau sekadar fun atau iseng?

Ayah, berhati-hatilah saat anak berusia 3-7 tahun. Jika pada masa itu Anda gagal membangun ikatan emosional dengan anak, Anda masih ada kesempatan untuk memperbaikinya di usia 8 hingga pertengahan belasan. Tapi jika kesempatan kedua itu Anda sia-siakan maka tanpa Anda sadari Anda telah menanamkan benih-benih homoseksual di diri anak Anda. Anda telah menorehkan luka yang dalam dalam diri anak Anda, sebuah luka yang akan dibawa dengan pedih oleh anak sepanjang hayat.

Luka itu menyedot energi dan emosi anak, menempatkannya pada posisi tersudut, membuatnya selalu dahaga akan ikatan emosional dan kepercayaan diri dan untuk memenuhinya ia akan terus mencari sepanjang hidupnya. Pencarian itu bisa membawanya kepada kebaikan, tapi tak jarang justru menjerumuskannya di lembah nista.

Tidak penting apakah si anak menyadari kesalahan ayahnya itu, atau bahwa ia menyadari bahwa dirinya memiliki luka. Yang jelas karena kelalaian sang ayah, luka itu tertoreh dan itu adalah luka yang lebar dan dalam. Tidak terlalu bermanfaat jika setelah dewasa sang anak mengkonfrontir ayahnya atas perlakuan terhadapnya semasa kecil atau remaja. Konfrontasi tidak akan menyembuhkan luka, apalagi biasanya sang ayah merasa tidak berbuat salah.

Oleh karena itu, para orang tua, cegahlah sebelum kesalahan itu Anda perbuat terhadap anak Anda. Anda tidak akan pernah bisa membayangkan bagaimana beratnya cobaan dan godaan yang dihadapi anak yang memiliki SSA. Orang bisa mengatakan bahwa tidak perlu pergi ke kutub untuk mengetahui gunung es. Tapi untuk SSA, itu tidak berlaku. Anda tidak akan pernah tahu bagaimana berat dan pedih rasanya memikul cobaan ini sampai Anda mengalaminya sendiri.

3. Kepada Mereka Yang Punya Kecenderungan Gay

Terlepas dari bagaimana rasa ketertarikan ini muncul pada diri kita (kalau sampai di paragraf di atas belum jelas bagi Anda, yes, I also have SSA), yang lebih penting sesungguhnya bukan bagaimana kita memiliki SSA, tapi bagaimana SIKAP kita terhadap kecenderungan ini.

Kalau saya melakukan pendekatan agama dalam menulis ini, karena itulah yang bagi saya bisa memberikan solusi saat ini. Saya telah mencoba mengatasi permasalahan ini dengan mengkaji dari berbagai cara approach. Beberapa cara lain telah saya pelajari, tapi pada akhirnya agamalah yang bisa memberi jawaban.

Saya ingin menyampaikannya dalam beberapa poin:

Adalah HAK setiap orang untuk menentukan pilihan. Anda berhak untuk menentukan jalan hidup Anda. Menjadi gay atau tidak sepenuhnya pilihan Anda. Tapi setiap pilihan mengandung konsekuensi. Dan karena ketetapan tentang homoseksual telah ditetapkan dalam Alkitab, apapun asal-usul kecenderungan ini (karena pelecehan, karena salah asuh, karena salah gaul, atau bahkan jika Anda menganggap hal ini bawaan lahir) tanggung jawab dan konsekuensinya tetaplah sama. Saya ingin mengatakan, jika menentukan pilihan adalah HAK Anda, maka membuat pilihan yang BENAR adalah KEWAJIBAN (Making choices is a right, making the right choice is an obligation).

Masuk akal-kah jika Allah menciptakan kita sebagai gay, kemudian mengutuk kita for being gay? Kalau kita percaya dengan firman Allah, berarti kecenderungan ini bukanlah pemberiannya yang kemudian harus diikuti, ini adalah ujian. Dan sebagaimana kita telah diajarkan, kita tidak akan diberi ujian yang melampaui kemampuan kita. Sekarang bahwa kita memiliki kecenderungan ini, sebenarnya kita orang-orang terpilih, yang sudah dibekali Allah dengan kemampuan mengendalikannya. Apakah kita mau menggunakan kemampuan mengendalikan itu atau tidak, berpulang kepada Anda.

Seorang ahli mengatakan, Every homosexual is a latent heterosexual. Jadi ada jiwa heteroseks dalam diri kita, dan itulah sebenarnya fitrah. Katakanlah kita punya dua serigala peliharaan, yang satu bersifat pemarah, sirik, munafik, pelit, pembohong, & dengki, sedangkan binatang yang satunya lagi bersifat ramah, soleh, penuh harapan, dermawan, empati, penyayang dan bahagia. Nah, manakah dari dua serigala itu yang akan menang? (Jika Anda serius untuk mengetahui jawabannya, silakan diskusi dengan saya melalui alif2hamzah@yahoo.com).

Kebutuhan yang harus kita penuhi adalah rasa komplet menjadi seorang lelaki untuk meraih keseimbangan dalam hidup. Rasa sebagai lelaki itulah yang kita dambakan sepanjang hidup. Jika kita berhubungan secara tidak sehat dengan sesama lelaki, kita tidak memenuhi kebutuhan itu, karena kita melepaskan karakter kelelakian kita kepada yang lain. Yang timbul justru rasa kekosongan yang lebih dalam dan keterlepasan kita kepada karakter kelelakian.

Silakan simak surat Al-Baqarah (2:216) “Boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu; dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui”.

Banyak bukti yang menunjukkan bahwa kita bisa mengendalikan orientasi seksualitas kita. Dan ini adalah sesuatu yang harus di-manage. Hanya karena Anda menikah tidak berarti Anda telah mengatasi kecenderungan Anda terhadap sesama. Berapa banyak dari kita yang living double lives? Menikah dan sekaligus menjalani kehidupan sebagai gay di belakang istri? Menikah dan resolving SSA adalah dua hal yang berbeda dan dua-duanya harus dikelola secara benar.

Tanpa mengurangi pandangan saya terhadap perlunya upaya – upaya lain, jika kita memang berniat untuk meninggalkan kehidupan gay, hal paling pertama kita lakukan ialah memasrahkan diri kepada Allah. Pasrah dan ikhlas dalam arti yang sebenar-benarnya. Yakin bahwa Allah akan memberikan Anda hal terbaik dalam hidup Anda kini dan di akhirat kelak. Pasrah dan ikhlas di sini dalam arti Anda rela menerima cobaan ini dan rela untuk menjalani kehidupan sesuai dengan perintah-Nya.

Anda berdamai dengan diri sendiri, tidak menyalahkan orang tua, orang yang pernah melecehkan Anda, menyalah diri sendiri, apalagi menyalahkan Tuhan. Terimalah semuanya sebagai garis hidup. Bahwa memang Anda harus menjalani cobaan ini dan yakinlah bahwa Allah akan menolong setiap langkah Anda, dan akan membalas segala upaya Anda untuk hidup di jalan-Nya.

Hidup ini adalah sebuah perjalanan. Tapi bukan perjalanan pergi, melainkan perjalanan kembali. Kembali kepada-Nya. Tentu, jalan yang kita tempuh bukan jalan tol yang mulus. Jalan kehidupan penuh liku, banyak tanjakan dan turunan, banyak lubang dan duri, ada halangan disetiap ruas. Tapi Allah telah memberi rambu-rambu. Jika pun Anda sempat salah belok, selalu terbuka untuk kembali ke jalan yang lurus.

Ampunan Allah selalu terbuka. Rahmat Allah tak terkira luasnya. Berjalanlah padanya, maka Dia akan menyambutmu dengan berlari. Adalah tidak masuk akal sehat jika Anda menukar kebahagiaan abadi di akhirat dengan kenikmatan sesaat di dunia.

Sumber: http://alif2hamzah.blogdetik.com/2008/08/26/halo-dunia/

Seks Sesama Jenis (Boarding vs Full Day School)

sumber gambar : https://cdn2.tstatic.net/wartakota/foto/bank/images/20160226-lgbt_20160226_102505.jpg

“Kak Sinyo, saya takut memasukkan putra saya ke boarding karena katanya di sana kadang muncul tindakan seks sesama jenis. Bagaimana pendapat kakak?”

Curhatan ini banyak dikemukakan peserta seminar saat saya mengisi acara keliling Indonesia. Ketakutan yang mungkin juga dirasakan oleh pembaca.

Berdasarkan klien yang datang ke Peduli Sahabat, tindakan seks sesama jenis bisa dilakukan siapa saja tanpa memandang orientasi seksnya (apakah heteroseksual, homoseksual, biseksual, dan lain sebagainya), jenis kelamin (tapi kebanyakan laki-laki), tingkat ekonomi, latar belakang pendidikan, suku, agama, ras, atau bahkan model sekolahnya.

Pelaku seks sesama jenis ada yang bersekolah di boarding atau full day. Jadi anak kita mau sekolah di mana saja tetap ada risiko melakukan tindakan seks sesama tadi.

Apa perbedaannya?

Berikut ini empat contoh kasus seks sesama jenis (laki-laki) yang Peduli Sahabat tangani, perhatikan pola per kasus untuk diambil hikmahnya.

1. Contoh pertama di boarding school

Seorang laki-laki setara SMA di Depok berorientasi heteroseksual sudah tidak tahan menahan kantung sp*rmanya yang sudah penuh. Dia tertarik melihat paha temannya sesama jenis yang mirip perempuan maka pada suatu kesempatan dia berusaha merangsang dirinya dengan menggerayangi seputaran paha temannya.

2. Contoh kedua di boarding school

Seorang laki-laki SMP di Kab. Bogor masuk ke boarding sebagai anak pindahan. Dia menawarkan diri untuk melakukan or*l seks ke 10 orang teman sesama jenis.

Kesepuluh anak tersebut mencoba-coba mau dior*l seks dan ketagihan. Saat si anak pindahan tadi absen karena sakit maka kesepuluh anak tersebut kemudian saling melakukan or*l seks.

Masih banyak kasus lain yang serupa, ringkasnya kalau kejadian seks sesama jenis di boarding school:

a. Cepat diketahui/terlacak b. Melibatkan banyak orang dalam satu kasus

3. Contoh pertama di full day school

Di Semarang ada laki-laki SMA berorientasi heteroseksual mengaku sudah biasa dior*l seks oleh beberapa teman sesama jenis sejak SMP. Posisinya dia sebagai laki-laki dan tidak mau diminta mengor*l seks balik.

4. Contoh kedua di full day school

Di salah satu provinsi Sumatra ada anak SMP laki-laki hidup sebagai ‘pasangan’ dengan gurunya (sudah punya istri dan anak) dengan dalih anak dan bapak angkat selama 13 tahunan.

Masih banyak kasus lain yang serupa, ringkasnya kalau kejadian seks sesama jenis di full day school:

a. Senyap, tertutup, tersamar, dan gelap bahkan kadang tidak diketahui siapa saja. b. Melibatkan sedikit orang dalam satu kasus

Kembali ke pertanyaan awal para peserta seminar tadi maka:

Kalau anak kita ingin dimasukkan ke borading school idealnya:

– Cari institusi boarding yang sudah memahami dunia seks sesama jenis dengan baik. – Calon murid dan wali murid harus diedukasi tentang hal tersebut sebelum masuk sekolah. – Peraturan dibuat seketat mungkin untuk menghindari tindakan seks sesama jenis atau meminimalisirnya.

Jika anak kita masuk full day school idealnya:

– Ortu dan anak memahami dengan baik dunia seks sesama jenis.

Entah anak bersekolah di boarding atau full day school yang terbaik adalah orang tua selalu menjadi sahabat bagi anak-anaknya sehingga apa yang menjadi buah pikiran atau keresahan hatinya, maka mereka akan selalu bercerita kepada salah satu atau kedua orang tua untuk dipecahkan bersama.

Semoga bermanfaat, Sinyo Peduli Sahabat

Sumber : https://web.facebook.com/groups/pedulisahabat2014

Jika Saja Kala Itu

Ini adalah kisah dari seorang teman yang memintaku untuk menuliskannya. Dia sangat berharap semoga kita semua dapat mengambil pelajaran dari kisahnya.

Untuk memudahkan dalam penulisan, aku menggunakan Point Of View (POV) alias sudut pandang orang pertama.

POV Rizal.

Pertengahan September, 2008.

Agak tergopoh aku berjalan masuk ke lorong Fakultas Sosial. Hari ini ada mata kuliah Antropologi di kelas lantai dua, dan sialnya aku telat. Tadi di perjalanan tiba – tiba ban motor bocor, membuatku harus menuntun motor sekira lima ratus meter untuk sampai di tukang tambal ban. Sambil menaiki anak tangga fakultas aku menatap jam di pergelangan tangan, Duh, sudah lima belas menit aku terlambat.

Dosen Antropologi terkenal disiplin, aku tidak berani menyebut ‘killer’. Telat 5 menit, boleh masuk kelas tapi tidak akan diceklist di daftar kehadiran. Bagi mahasiswa yang ‘bener’ ia memilih masuk, meski tidak diabsen lumayan dapat ilmu, tapi kebanyakan langsung balik ke kosan atau nongkrong di kantin, buat apa di kelas kalau tidak dipresensi? Yang penting itu presensinya kok. Karena tidak masuk tiga kali, alamat tak bisa ikut ujian semester. Ilmu mah, nomor sekian. Bahkan untuk hal ini, mahasiswa rela titip tanda tangan kehadiran ke teman, dianya sendiri bolos.

Akhirnya aku sampai di depan kelas. Nampak pintu sudah tertutup. Di dalam, samar-samar terdengar seorang lelaki paruh baya menerangkan sesuatu. Aku nekad mengetuk pintu sembari membuka pintu perlahan.

“Assalamualaikum,” aku mengangguk tatkala dosen tiba – tiba berhenti berbicara dan menoleh padaku.

“Waalaikumsalam,” jawab dosen dingin.

“Maaf, tadi ban saya bocor, Pak.”

“Sudah dua mahasiswa yang pakai alasan ban bocor, lain kali janjian dulu sama temanmu kalau mau alasan, biar gak sama. Silakan keluar.”

Ucapan dosen itu seketika membuat kelas riuh oleh tawa teman-teman. Aku nyengir getir, mundur teratur dan menutup pintu perlahan. Ah, padahal tadi beneran ban motorku bocor. Aku segera mencari tempat duduk di lorong lantai dua. Mengambil air yang kubawa dari rumah lalu meminumnya. Air itu membasahi tenggorokan yang kering. Segar.

“Kamu ikut kelas Antropologi, bukan?”

Tiba – tiba seseorang menyapaku. Saat aku mengangkat pandangan nampaklah lelaki yang rambutnya tersisir rapi dan tubuhnya agak gempal.

“Iya,” aku menimpali.

“Kenapa gak masuk?” ucapnya.

“Telat. Disuruh keluar.”

Dia tersenyum, “Hehe. Sama.”

Sebenarnya aku merasa ada yang aneh dari cara bicara lelaki ini. Karena meski tubuhnya besar, tapi cara sikapnya ‘girly’ banget.

“Boleh kenalan? Aku Fahmi.” Dia menjulurkan tangan.

Aku menyambut uluran tangannya, “Rizal. Kamu angkatan 2008 juga?”

“Iya. Loh, kita kan satu kelas di mata kuliah Antropologi?”

“Eh, iya kah? Aku gak tau, maaf, baru dua minggu kuliah. Jadi belum hafal betul sama teman kelas.”

“Gak masalah.” Dia kembali tersenyum.

Memang kuliah beda dengan sekolah. Karena mahasiswa nyari jadwal sendiri, berpindah-pindah kelas sesuai jadwal, dan jadwal mahasiswa satu dengan yang lain sering berbeda. Jadi aku tidak seberapa memperhatikan mahasiswa lain.

Lalu, kami mengobrol tentang dari mana berasal, tinggal di mana, dan topik lain sampai tak terasa bel tanda jam mata kuliah pertama usai. Aku dan Fahmi berpisah, karena harus lanjut kuliah jam kedua.

Teman, nanti awal perkenalanku dengan Fahmi ini akan begitu terekam kuat di memori otak setelah peristiwa memilukan itu terjadi. Dan sampai sekarang aku tidak menyangka, segala firasatku tentang dia benar-benar menjadi nyata.

Semester satu telah berlalu. Seusai liburan cukup panjang aku dan mahasiswa lain kembali masuk kuliah. Di satu mata kuliah ternyata aku satu kelas lagi dengan Fahmi. Cara bicara dan tingkahnya tak berubah. Tetap ‘girly’.

Suatu saat dosen memberi tugas lapangan kepada kami. Satu kelompok terdiri 6 mahasiswa. Qadarullah, aku satu kelompok dengan Fahmi. Saat itu kami harus mencari data terkait pemberdayaan perempuan di suatu desa. Kami memilih komunitas bantaran sungai sebagai tempat riset. Kami lakukan riset itu selama 4 minggu. Rencananya, tiap satu minggu kami hadir di lapangan sebanyak 2 kali. Surat izin dari pihak akademik dan RT setempat sudah kami pegang.

“Zal, aku gak punya motor. Boleh aku nebeng kamu ke lokasi riset?” Fahmi berucap padaku.

Aku mengangguk, “Oke.”

Hari Sabtu kami kumpul di kampus untuk berangkat bareng. Kami bawa tiga motor. Aku berboncengan sama Fahmi. Anehnya, saat Fahmi duduk di jok motorku, empat teman lain tiba-tiba berseru, “Cieee… Rizal dipepet Fahmi, ciyeee…”

Aku tak paham dengan apa yang mereka ‘ciye-ciyekan’. Tak ambil pusing, aku meminta teman-teman agar segera berangkat.

Di perjalanan menuju lokasi riset, aku dan Fahmi ngobrol ngalor-ngidul. Hingga pada suatu titik ia bertanya,

“Rizal sudah punya pacar?”

Sembari nyetir motor, aku jawab, “Belum.”

“Masa’ mahasiswa ganteng dan rajin kayak kamu belum punya pacar?”

Aku nyengir, “Belum waktunya mungkin, Mi. Nanti aja mikir cewek kalau udah lulus kuliah. Sekalian langsung nikah, biar enak.”

“Wah, selain ganteng sama rajin, kamu juga sholeh ya, Zal?”

“Biasa aja, Mi.”

“Beruntung banget yang bisa jadi pasanganmu nanti.” Lalu muncullah kalimat aneh itu, “Yang jadi istrimu nanti harus perempuan ya, Zal?”

Deg! Aku refleks menurunkan gas, berusaha mencerna baik-baik perkataannya.

“Gimana, Mi?” aku memastikan. Barangkali tadi salah dengar.

“Eh, gak kok. Sudah jangan dipikirin. Tuh, lokasi risetnya sudah dekat.” Fahmi menunjuk kea rah depan.

Tentang riset itu sudah berlalu beberapa bulan lalu. Alhamdulillah kami dapat nilai memuaskan. Tapi kejadian ketika aku membonceng Fahmi itu memiliki kepingan kisah lain. Dan untuk itulah aku mengisahkan ini pada kalian semua. Rela begadang menulis panjang, mengorbankan waktu tidur, agar semua dapat mengambil pelajaran.

Di suatu siang, sembari menunggu jam mata kuliah ketiga, aku berkumpul dengan mahasiswa sejurusan. Kongkow biasa. Ngobrol tak tentu arah. Dan hukum itu berlaku; bila anak cowok kumpul sama cowok, yang dibahas pasti cewek. Sebaliknya bila cewek kumpul sama cewek, yang diobrolin sangat pasti terkait cowok.

Itulah yang terjadi siang itu.

“Eh, si Laksmi itu cantik ternyata, ya?” ucap salah seorang teman.

Ditimpali sama yang lain, “Lebih cantik Rini tau. Laksmi mah judes.”

“Laksmi judesnya sama kamu doang. Soalnya kamu jelek.”

Kami tertawa.

“Eh, si Rizal tuh cocok loh ya sama Laksmi. Satunya ganteng, satunya cantik. Sama-sama pinter lagi,” timpal yang lain.

Loh, kenapa sekarang malah bawa-bawa namaku? Sebenarnya aku hendak protes, tapi keduluan oleh Fahmi yang seketika menyahut,

“Hey, enak aja. Aku duluan yang pingin jadi pacarnya Rizal. Jadi Laksmi minggir dulu, ya.” Gestur Fahmi genit sekali saat itu.

Aku terhenyak dengan perkataan Fahmi, tapi teman-teman malah tertawa mendengarnya.

“Ciyeee… kalau beneran mau jadi pacarnya Rizal, joget dulu hayo.” Begitu tantang Rudi, salah satu teman dekat Fahmi.

Tak disangka, Fahmi benar-benar berjoget. Berlenggak-lenggok macam penari ular. Beneran. Teman-teman kegirangan melihat hal tersebut. Goyangan Fahmi seketika terhenti ketika bel jam kuliah ke-3 berdering. Kami bubar, dan berjalan menuju kelas.

Tatkala aku bersiap menenteng tas, Rudi berbisik di telingaku, “Fahmi suka kamu, Zal.”

Saat itulah aku langsung berkesimpulan; ADA SESUATU YANG SALAH DALAM DIRI FAHMI!

Semua misteri ini akhirnya terjawab ketika kami praktek lapangan. Praktek lapangan ini berbeda dengan KKN. Kalau KKN pesertanya bisa dari berbagai jurusan dikumpulkan jadi satu kelompok, Praktek Lapangan hanya diikuti oleh satu jurusan saja. Satu jurusan dibagi 4 kelompok. Total satu kelompok ada 12 mahasiswa. Dan qadarullah aku satu kelompok lagi dengan Fahmi. Kami ditempatkan di satu desa di kaki gunung, selama satu bulan.

Di suatu malam, selesai makan dan mengumpulkan data makanan. Kami terbiasa menghabiskan waktu dengan nonton film India di laptop, atau ngobrol. Beberapa yang lain sibuk nyari sinyal buat teleponan dengan pacar. Nah, tersisa 5 orang, termasuk aku dan Fahmi tak ada kegiatan. Hingga salah satu teman cewek, Rani, mengajak kami bikin mainan. Dia menyuruh kami segera duduk melingkar. Kami menurut.

“Ini ada botol,” ucap Rani, “Nanti aku putar botol ini. Dan kalau botolnya sudah berhenti berputar, kita lihat mengarah ke siapa bagian tutup botolnya. Orang yang berada persis di arah tutup botol, dia harus mau jawab dengan jujur sesuai pertanyaan. Paham?”

Kami mengangguk. Ini seperti permainan di salah satu adegan film “Mujhse Dosti Kagore”. Ternyata film India yang telah merasukimu, Kawan.

Rani memutar botol. Dan saat botol itu berhenti, kami mulai bertanya jawab. Pertanyaannya terserah. Entah yang lucu atau yang serius.

Hingga tibalah saat tutup botol itu mengarah pada Fahmi. Lalu Rani bertanya,

“Mi, jujur, sejak kapan kamu suka sama cowok?”

Pertanyaan itu membuat ruangan jadi hening seketika. Bagiku, itu pertanyaan yang tak terduga. Jadi benar selama ini Fahmi punya ‘penyakit’?

Lantas tanpa membuang waktu, Fahmi mengangguk. Lelaki besar itu pun berucap, “Benar.”

“Sejak kapan?”

“Sejak kecil.”

Fahmi kemudian berkisah tentang dirinya. Entah bagaimana ceritanya, kelainan itu ada sejak ia masih duduk di kelas 2 SD. Ketika melihat ibunya berganti pakaian dan mengenakan (maaf, br*), ada rasa dalam dirinya ingin memakai juga. Waktu ibunya pergi ke pasar, diam – diam ia masuk ke kamar ibunya, mengambil bra dalam lemari, lantas membawanya ke kamar sendiri. Di dalam kamar ia memakai bra tersebut sembari berkaca. Kurang puas, ia masuk lagi ke kamar ibunya mengambil lipstick. Dioleskan lipstick tersebut di bibir, berkaca lagi. Kemudian ia berjalan lenggak-lenggok macam model perempuan di tivi.

Fahmi juga bercerita, dari kecil ia memang lebih suka main bersama anak cewek. Main masak-masakan, dandan-dandanan, gendong bayi dari boneka, dll. Ia merasa lebih nyaman kumpul dengan cewek. Dia senang jadi cewek. Hal itu membuat dia dibully di sekolah. Disebut banci serta bencong.

Dan yang paling membekas dalam hidupnya adalah ketika dia kelas 4 SD, seorang remaja lelaki SMP tak tau untung mengajaknya ke semak-semak dekat rumah. Lalu terjadilah peristiwa tersebut. Itulah pertama kali ia mendapatkan pelecehan seksual.

Perilaku Fahmi yang tak seperti anak laki – laki lain, membuat orang tuanya curiga. Pada suatu hari, kecurigaan itu pun menjelma nyata tatkala pada suatu siang, mereka mendapati Fahmi berdandan layaknya ibu – ibu. Ia memakai bra, daster, lipstick dan jepit rambut. Orang tua Fahmi sangat sabar. Ia tidak dimarahi hanya dinasehati kalau laki – laki tidak boleh berpakaian seperti itu.

Setelah lulus SD, Fahmi langsung didaftarkan ke pondok pesantren. Fahmi yakin, tujuan orang tua mendaftarkannya ke pesantren, agar ia bisa berubah, mendapat bekal agama yang baik.

Tapi perilaku Fahmi selama di pesantren tidak berubah. Malah, di sana ‘keanehan’ dia mendapat apresiasi dari teman-teman sekamar. Fahmi seperti botol yang ketemu tutup. Dulu, ia sembunyi – sembunyi ketika ingin berdandan ala perempuan. Sekarang teman-temannya malah yang memfasilitasi. Entah dari mana, teman – teman sekamar Fahmi memberinya daster dan lipstick, jika waktu istirahat tiba, Fahmi disuruh memakai semua perabotan cewek itu. Teman – temannya tertawa, Fahmi pun senang.

“Percaya atau tidak,” begitu ucap Fahmi, “Di pondok aku juga pernah mengalami pelecehan. Sama seperti yang aku alami saat SD. Yang ngelakuin ya kakak kelasku.”

Kami menutup mulut. Benar-benar tak menyangka. Bahkan di lingkungan pesantren pun ada oknum santri yang seperti itu.

Seusai menuntaskan sekolah Aliyah, Fahmi memutuskan kuliah. Kuliah tempat dia saat ini.

“Selama kuliah kamu suka cowok di kelas ndak, Mi?” Rani kembali bertanya. Semangat betul dia mengorek sisi pribadi Fahmi.

Yang ditanya mengangguk.

“Siapa?”

“Rizal.”

Bibir langsung mengucap istighfar saat namaku disebut.

“Mi,” aku segera menanggapi, “Eh, maaf, apa kamu sadar kalau perilakumu itu menyimpang?”

Fahmi mengangguk lagi dan berucap lirih. “Tapi aku benar-benar gak ngerti kenapa aku punya perasaan seperti ini.”

“Tapi jujur,” Rudi sekarang menimpali, “Apakah kamu punya keinginan pada perempuan.”

“Ndak punya. Tapi aku ingin sembuh. Aku ingin kayak laki-laki normal. Menikah dan punya anak. Tapi di mana aku mengadu? Di mana aku harus curhat? Aku gak tau. Karena setiap aku cerita begini, pasti dianggap lucu-lucuan. Atau yang paling parah dianggap aib.”

Saat itu. Kami semua tak bisa berkata apa pun.

Mei 2019

Tujuh tahun sudah aku meninggalkan kampus dengan membawa gelar sarjana sosial. Dua tahun setelah wisuda, aku menikah. Dan kini telah dikaruniai seorang anak lelaki.

Pada suatu sore, aku membaca pesan di grup WA alumni, dari Rani,

[Teman – teman, gak adakah yang mau jenguk Fahmi? InsyaAllah selasa aku sama suami mau jenguk. Barangkali ada yang mau bareng.]

Aku segera mengetik balasan, [Fahmi sakit apa, Ran?]

[TBC.] Rani jawab singkat.

Dibalas sama alumni lain, [Padahal Fahmi gak pernah merokok, loh, ya?]

[Ayo siapa yang mau ikut? Kita bisa bareng.] Rani tak menjawab pertanyaan terakhir.

[Ran,] ketikku, [maaf aku gak bisa ikut ke rumah Fahmi. Ada kerjaan, ngisi raport online siswa. Nanti kalau sudah sampai di rumah Fahmi, aku mau video call.]

[Oke, Zal.]

Persis sepulang dari sholat isya’, Rani WA aku, [Zal, ini aku sudah di rumah Fahmi. Mau video call?]

Aku balas cepat, [Mau.]

Lalu Rani ngevideo call aku, tak lama hapenya dipegang Fahmi.

[Assalamualaikum, Rizal.]

Ya Allah, lihatlah, tubuh Fahmi nampak kurus sekali. Mukanya yang dulu tembem sekarang jadi tirus. Mataku langsung berembun melihat kondisinya.

[Eh, waalaikumsalam, Fahmi. Gimana keadaannya?]

[Alhamdulillah enakan. Kamu gimana? Katanya sudah jadi guru?]

Aku mengangguk.

[Sudah berapa anakmu, Zal?] tanyanya.

[Baru satu.]

Percakapan kami tersendat karena sinyal yang kurang bagus.

[Zal, aku minta maaf kalau punya banyak salah, ya?]

[Kamu gak punya salah apa-apa ke aku. Lekas sembuh ya.]

[Aamiin. Makasih, Rizal.]

Sesi video call kami benar-benar terhenti setelah itu.

Dan ternyata, itulah terakhir kalinya aku berbicara dan menatap wajah Fahmi.

Sebab, sudah hari berselang aku mendapat kabar bahwa Fahmi dilarikan ke rumah sakit umum daerah. Statusnya kritis. Itu berita yang tersebar di grup pada siang hari. Dan di subuh sehari setelahnya, Rani memberi kabar di grup,

[Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun. Telah meninggal teman kita Fahmi Hamid, pukul 02.30 dini hari tadi. Mohon doanya semoga Allah mengampuni beliau dan menerima segala amal kebaikannya.]

Pesan itu menghentak kalbu. Ya Allah. Batas usia hamba hanya Engkau yang tau. Tapi mohon, berikan hamba kematian yang husnul khotimah.

[Ran, kapan dikuburkan?] tanyaku di grup.

[Kata keluarga segera.]

[Oke, aku hari ini izin libur ngajar. Mau ke sana.]

Karena harus memandikan si kecil, dan beres – beres aku baru bisa berangkat pukul 06.30 wib. Kalau lancar, aku akan sampai di rumah duka sejam kemudian, mengingat jarak yang cukup jauh. Di tengah perjalanan, terdengar suara dering hape tanda ada pesan WA masuk. Aku membuka pesan itu ketika berada di lampu merah.

Ternyata itu pesan dari Rani. Dia mengirim foto satu petak makam penuh bunga, tak lupa diberi caption, “Selamat Jalan Kawan.”

Aku merasa ada yang ganjil. Seolah pemakaman Fahmi diburu – buru. Seperti tak mau ada orang tahu pemakamannya. Bahkan nampak di foto hanya segelintir orang yang datang menguburkannya.Segera aku menepi dan menjapri Rani.

[Ran, maaf kalau dirasa lancang. Sebenarnya Fahmi sakit apa?]

Pesanku terbalas segera, [Tapi tolong jangan bilang siapa-siapa ya?]

[Iya.]

[Fahmi positif HIV.]

Allahu Akbar! Aku benar-benar tak menyangka akan hal ini.

Lalu tanpa diminta Rani menjelaskan,

[Enam bulan lalu, Fahmi pernah bercerita kalau dia ‘main’ sama anak Jawa Barat. Nah, dia yakin kalau anak itu yang nularin, karena ‘itu’ nya bernanah waktu dimasukin.]

Aku membaca pesan itu dengan menahan mual.

[Aku dikasih tau dokternya waktu nemenin keluarga si Fahmi. Ibunya malu, Zal. Makanya ngarang kalau Fahmi kena TBC. Jasad Fahmi itu ditreatment khusus. Soalnya bisa nular. Itu sebabnya pemakamannya dibuat cepet, gak nunggu keluarga yang dari luar kota dulu.]

Sumpah, aku seperti tak bisa bernafas membaca penjelasan Rani. Tak menyangka Fahmi melakukan hal sejauh itu. Ya Allah, mohon lindungi semua dari perbuatan yang membuat-Mu murka.

Epilog

POV Penulis

“Gitu ceritanya, Fit.” Rizal menjelaskan semua kronologis kisah temannya padaku, “Minta tolong tuliskan kisah ini, ya. Aku gak pandai merangkai kata sepertimu. Semoga setelah ini banyak orang yang sadar betapa bahayanya perbuatan eljibiti itu.”

Aku mengangguk lemah. Mendengar kisahnya membuatku begidik ngeri. Tak sampai terfikir ada orang yang melakukan hal keji itu. Bahkan teman dekat sendiri.

“Makanya, aku sebel banget, Fit, Kalau ada orang yang memaklumi perilaku eljibiti dengan alasan hak asasi manusia. Dia bisa ngomong kayak gitu karena gak kena ke keluarganya sendiri. Coba kalau anaknya yang kena HIV, apa masih bisa dia bicara hak asasi? Dosa dari perbuatan itu emang hakmu, tapi akibatnya bisa sekampung kena. Jasad Fahmi dikasih penanganan khusus, dibungkus rapat, supaya tidak ada cairan dari tubuhnya yang jatuh dan kena orang lain, bisa nular. Bahkan yang memandikan jasadnya pun harus pakai baju khusus. Ngeri, Fit. Sumpah.”

“Kalau menurutmu apa ya, Zal, langkah untuk meminimalisir hal ini?” aku bertanya. Sebagai sesama rekan guru, aku mengenal betul Rizal orangnya pemikir dan suka baca. InsyaAllah aku akan dapat jawaban yang memuaskan darinya.

“Menurutku, pertama, kita harus peduli. Ketika melihat ada saudara atau kerabat yang terindikasi penyakit eljibiti itu, maka langkah pertama kita harus dekati dia. Didekati agar mau disembuhkan alias direhab. Itulah salahku pada Fahmi. Saat mengetahui dia punya kelainan, aku malah menjauhi dia. Bahkan tak pernah kontak setelah lulus kuliah, akhirnya dia memilih jalan yang ia anggap benar, padahal jalan itulah yang membuat celaka. Nah, sayangnya, para ‘penderita’ kelainan ini malu untuk ‘berobat’, karena dianggapnya aib. Kalau orang kena penyakit lain segera ke dokter, tanpa malu. Tapi kalau sakit yang ini mana ada pasien yang rela datang berobat? Padahal penyakit ini juga tak kalah ngeri akibatnya. Itu sebabnya harus didampingi, terutama keluarga, didampingi sampai sembuh.”

Aku masih mendengarkan.

“Kedua, penyebab kelainan ini tak pernah bisa tuntas adalah, karena selalu ditutup-tutupi. Ini seperti fenomena gunung es. Yang nampak di permukaan hanya sebagian kecil saja, yang tak kelihatan itu yang malah luar biasa banyak. Faktanya, jika anggota keluarga kena HIV akibat dari perilaku menyimpang itu, mereka akan bilang anaknya kena TBC. Malu, itu wajar. Tapi akibatnya adalah bahwa perilaku menyimpang itu dianggap tidak bahaya oleh orang lain. Padahal bahayanya luar biasa. Aku salut banget sama keluarga yang terus terang pada orang lain bahwa anaknya kena HIV akibat kelakuan menyimpang. Akhirnya orang pada hati – hati. “

“Dan ketiga, selain kuatkan doa serta pendidikan seksual pada anak, kita juga harus STOP tayangan orang – orang yang berlagak banci. Meski hanya sekedar lucu – lucuan. Kalau lagi nonton tivi ada adegan orang banci, langsung matikan. Kalau di kampung diadakan lomba bapak-bapak pakai daster, pakai lipstick, segera usul ke RT agar dibatalkan. Diganti lomba lain. Banyak lomba lain yang lebih seru dan lucu ketimbang pakai pakaian yang tak wajar. Bukankah Rasul melaknat orang laki-laki yang berpakaian menyerupai wanita? Kita tidak sadar, bahwa pemakluman terhadap laki – laki yang memakai baju perempuan, bisa membuat warga jadi menganggap remeh tentang eljibiti ini. Kita tak pernah tau bahwa tawa kita melihat bapak – bapak pakai baju perempuan bisa berakibat tangisan tak berujung.”

Aku kembali mengangguk, dan berjanji akan menuliskan pengalaman sahabatku ini nanti.

Surabaya, 11 Oktober 2019
02.35 wib

CC: Fitrah Ilhami

Pelajaran sangat berharga yang kita dapat dari kisah ini, maka dari itu marilah kita bersama – sama, jika kita memiliki saudara, teman atau tetangga yang memilki orientasi seksual SSA, jangan takut untuk tetap bersosial dan berinteraksi dengan mereka tentunya dengan batasan – batasan yang kita tentukan sendiri. Ya mungkin tidak semua orang bisa dengan mudah menerima perilaku SSA tersebut, namun jika kita biarkan dan tidak diarahkan sangat disayangkan sekali jika nantinya malah semakin terjebur ke dalam hal yang lebih berbahaya.

Tidak mudah memang, namun sebagai sesama muslim hendaknya walau hanya sekedar mengingatkan semoga pelan – pelan saudara kita yang sedang berjuang dengan SSAnya segera medapatkan pertolongan ALLAH.

Sumber kisah : https://web.facebook.com/groups/pedulisahabat2014

Mitos Gay Gene, Benarkah ada gen ‘Gay’ ?

sumber gambar : https://cdn.pixabay.com/photo/2018/12/22/13/18/dna-3889611__340.jpg

Sebelum menentukan apakah perilaku SSA = same sex attraction (homoseksual) berasal dari gen atau faktor keturunan. Mari kita luruskan terlebih dahulu bahwa sebenarnya perilaku SSA bukan berasal dari gen atau faktor keturunan, mengapa demikian karena belum ada sebuah penelitian atau riset yang benar – benar membuktikan bahwa perilaku SSA disebabkan karena gen atau faktor keturunan.

Kita khususnya umat muslim pun telah dijelaskan ALLAH melalui AL QURAN :

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ(80) إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ(81)

“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?” Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.”(TQS. Al-A’raf [7]: 80-81).

Meski secara umum masyarakat Indonesia menolak eksistensi kaum gay dan lesbian, tetapi sebetulnya aktifitas mereka eksis dan teraba. Mereka pun tengah berjuang agar keberadaan mereka diterima dan legal secara hukum. Apalagi ada dalih hak asasi manusia dan alasan genetis; bahwa gay adalah karena faktor keturunan. Benarkah demikian?

Gay Bukanlah Genetis
Salah satu alasan yang sering dikemukakan kalangan gay dan liberal agar publik menerima eksistensi kaum gay adalah teori ‘gen gay’ (gay gene theory) atau teori ‘lahir sebagai gay’ (born gay). Mereka memaparkan sejumlah penelitian bahwa homoseksual dan lesbian disebabkan ketentuan genetis. Sifat bawaan yang ada pada kalangan yang kemudian menjadi pembentuk karakter gay pada seseorang.

Ilmuwan pertama yang memperkenalkan teori “born gay” adalah ilmuwan Jerman, Magnus Hirscheld pada 1899. Dia menegaskan bahwa homoseksual adalah bawaan sehingga dan dia menyerukan persamaan hukum untuk kaum homoseksual.

Pada 1991, 2 periset Dr Michael Bailey & Dr Richard Pillard melakukan penelitian untuk membuktikan apakah homoseksual diturunkan alias bawaan. Yang diteliti 2 periset ini adalah pasangan saudara –- kembar identik, kembar tidak identik, saudara-saudara biologis, dan saudara-saudara adopsi –- yang salah satu di antaranya adalah seorang gay.

Ringkasnya, riset itu menyimpulkan adanya pengaruh genetik dalam homoseksualitas. Mereka menyatakan, 52 persen pasangan kembar identik dari orang gay berkembang pula menjadi gay. Sementara hanya 22 persen pasangan kembar biasa yang menunjukkan sifat itu.

Sedangkan saudara biologis mempunyai kecenderungan 9,2%, dan saudara adopsi 10,5%. Sedangkan gen di kromosom yang membawa sifat menurun itu tak berhasil ditemukan.

Pada 1993, riset ini dilanjutkan oleh Dean Hamer, seorang gay. Dia meneliti 40 pasang kakak beradik homoseksual. Hasil risetnya menyatakan bahwa satu atau beberapa gen yang diturunkan oleh ibu dan terletak di kromosom Xq28 sangat berpengaruh pada orang yang menunjukkan sifat homoseksual.
Riset Dean ini sangat “dipuja-puja” oleh kalangan homoseksual dan menjadi senjata terkuat mereka. Riset ini dianggap sebagai “penemuan ilmiah yang monumental.” Hasil riset ini meneguhkan pendapat kaum homoseksual bahwa homoseksual adalah kodrati, tak bisa dikatakan sebagai penyimpangan, dan tidak bisa dibenahi.

Meskipun Dean menyatakan homoseksual di kromosom Xq28 ditemukan, namun hingga 6 tahun kemudian, gen pembawa sifat homoseksual itu tak juga ketemu. Dan Dean Hamer mengakui bahwa risetnya itu tak mendukung bahwa gen adalah faktor utama/yang menentukan yang melahirkan homoseksualitas.

“Kami tahu bahwa gen-gen hanyalah bagian dari jawaban. Kami menerima bahwa lingkungan juga mempunyai peranan membentuk orientasi seksual. Homoseksualitas secara murni bukan karena genetika. Faktor-faktor lingkungan berperan. Tidak ada satu gen yang berkuasa yang menyebabkan seseorang menjadi gay, saya kira kita tidak akan dapat memprediksi siapa yang akan menjadi gay.”

Hamer juga menyebut bahwa risetnya gagal memberi petunjuk bahwa homoseksual adalah bawaan. “Silsilah keluarga gagal menghasilkan apa yang kami harapkan kami temukan: sebuah hukum warisan Mendelian yang sederhana. Pada faktanya, kami tak pernah menemukan dalam sebuah keluarga bahwa homoseksualitas didistribusikan dalam rumus yang jelas seperti observasi Mendel dalam tumbuhan kacangnya,” tulis Hamer.

Teori “gay gene” kian runtuh ketika pada 1999 Prof George Rice dari Universitas Western Ontario, Kanada, mengadaptasi riset Hamer dengan jumlah responden yang lebih besar. Rice menyatakan, hasil penelitian terbaru tak mendukung adanya kaitan gen X yang dikatakan mendasari homoseksualitas pria.

Rice dan tiga koleganya memeriksa 52 pasang kakak beradik homoseksual untuk melihat keberadaan empat penanda di daerah kromosom. Hasilnya menunjukkan, kakak beradik itu tak memperlihatkan kesamaan penanda di Xq28 – yang sebelumnya dirilis oleh Dean Hamer, kecuali secara kebetulan.
Dengan data itu para peneliti Kanada tersebut menyatakan mereka dapat meniadakan segala kemungkinan adanya gen di Xq28 yang berpengaruh besar secara genetik terhadap timbulnya homoseksualitas. Namun demikian, menurut Rice, pencarian faktor genetik pada homoseksualitas terus berlangsung dan mereka juga sedang mencari kaitan pada kromosom lain. Meski demikian, hasil keseluruhan dari berbagai penelitian tampaknya menunjukkan kalaupun ada kaitan genetik, hal itu sangat lemah sehingga menjadi tidak penting.

Selain Prof Rice, hasil riset ini didukung oleh Prof Alan Sanders dari Universitas Chicago. Riset Sander yang tak dipublikasikan juga tidak mendukung teori hubungan genetik pada homoseksualitas.
Ruth Hubbard, seorang pengurus The Council for Responsible Genetics yang juga penulis buku Exploding the Gene Myth menyatakan bahwa pencarian sebuah gen gay, “bukan suatu usaha pencarian yang bermanfaat. Izinkan saya memperjelasnya: Saya tidak berpikir ada gen tunggal yang memerintah perilaku manusia yang sangat kompleks. Ada komponen-komponen genetik dalam semua yang kita lakukan, dan adalah suatu kebodohan untuk menyatakan gen-gen tidak terlibat. Tapi saya tidak berpikir gen-gen itu menentukan.”

Hasil riset di atas, meski menemukan adanya link homoseksual secara genetika, namun menyatakan bahwa gen bukanlah faktor yang dominan dalam menentukan homoseksualitas.

Kebenaran Islam
Jauh sebelum para pakar menyanggah teori genetik-gay, Islam telah menjelaskan kepada umat manusia bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan sempurna (fisik dan fitrahnya), yakni kecenderungan tertarik pada lawan jenis dan bukan kepada sesama jenis. Firman ALLAH Ta’ala:

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”(TQS. At-Tin [95]: 4).

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”(TQS. Ali Imran [3]: 14).

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”(TQS. An-Nisa [4]: 1).

Kemarahan ALLAH SWT. dan Nabi Luth as. kepada warga  negeri Sodom yang telah mempraktekkan homoseksual dan lesbian (liwath) menunjukkan bahwa mereka melakukan penyimpangan perilaku seksual, bukan karena faktor genetis/keturunan.

FirmanNya: “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?” Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.”(TQS. Al-A’raf [7]: 80-81).

Lafadz  “ata’tûna al-fâhisyata mâ sabaqokum bihâ min ahadin min al-‘alamîn (Mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?)” menunjukkan dengan jelas pengetahuan Luth as. (atas bimbingan ALLAH), bahwa tidak ada satupun umat sebelum penduduk Sodom yang  melakukan perbuatan terkutuk tersebut, baik secara sosial ataupun genetis. Atas kejahatan tersebut ALLAH menimpakan azab yang sangat keras kepada mereka.

فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ

“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi,”(TQS. Hud [11]: 82).

Tidak mungkin ALLAH Ta’ala mengazab satu kaum melainkan jika kaum tersebut telah menentang perintahNya dan melanggar laranganNya, sebagaimana kaum-kaum lain. Demikian pula tidak mungkin ALLAH mengazab suatu kaum karena faktor keturunan yang melekat pada mereka seperti warna kulit, warna rambut, warna dan bentuk bola mata, dsb.

تِلْكَ ءَايَاتُ اللَّهِ نَتْلُوهَا عَلَيْكَ بِالْحَقِّ وَمَا اللَّهُ يُرِيدُ ظُلْمًا لِلْعَالَمِينَ

“Itulah ayat-ayat Allah, Kami bacakan ayat-ayat itu kepadamu dengan benar; dan tiadalah Allah berkehendak untuk menganiaya hamba-hamba-Nya.”(TQS. Ali-Imran [3]: 108).

Islam pun menjelaskan bahwa setiap manusia terlahir ke alam dunia dalam keadaan fitrah, tidak membawa sifat dan perilaku menyimpang. Tidak ada pula dosa turunan. Sabda Nabi saw.

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَثَلِ الْبَهِيمَةِ تُنْتَجُ الْبَهِيمَةَ، هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاءَ

“Tidaklah setiap manusia lahir melainkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi dan Nasrani sebagaimana hewan ternak kalian dilahirkan apakah ada padanya anggota tubuhnya yang terpotong hingga kalian membuatnya cacat.”(HR. Imam Bukhari)

Hadits di atas menunjukkan bahwa setiap anak lahir dalam keadaan bersih, siap menerima hidayah dari ALLAH. Akan tetapi pendidikan dari kedua orang tuanyalah yang akan membentuk kepribadiannya kelak, apakah akan tetap beriman ataukah justru keluar dari hidayah ALLAH. Bisa dipahami dari nash hadits ini berarti lingkungan pergaulan dan norma-norma yang ditanamkan pada seseorang akan membentuk karakternya.
Masyarakat hari ini mengembangkan gaya hidup hedonis yang berkembang hari ini membentuk individu menjadi budak nafsu. Mencari berbagai cara untuk memuaskan hawa nafsunya, termasuk dengan perilaku menyimpang menjadi gay.

Teori yang menyatakan bahwa gay adalah sifat genetis adalah propaganda palsu untuk melegitimasi penyimpangan perilaku tersebut. Bahwa sebenarnya mereka adalah penyakit sosial yang harus dan bisa disembuhkan. Bukan dianggap sebagai sifat bawaan yang bisa ditolerir keberadaannya.

Persoalan Hukum
Persoalan sesungguhnya bukanlah teori genetis, tetapi gay sudah menjadi gaya hidup (lifestyle) liberal yang bernaung dalam demokrasi dan hak asasi manusia. Demokrasi dan HAM memang menjamin kebebasan berekspresi termasuk dalam urusan seksual. Inilah sebenarnya yang menjadi pangkal persoalan diterima atau tidaknya eksistensi kaum gay.
Adanya jaminan kebebasan berekspresi/perilaku akan membolehkan setiap orang melakukan apa saja, selama tidak dengan paksaan. Industri pornografi boleh didirikan, perzinaan adalah legal, sah bergonta-ganti pasangan, termasuk mempraktekkan hubungan seks keji semisal dengan sesama jenis, dengan binatang atau dengan mayat sekalipun. Semuanya dijamin dalam liberalisme.
Kenyataan inilah yang bertentangan dengan Islam. Sebagai agama yang sempurna, Islam tidak mengajarkan gaya hidup bebas/liberalisme. Setiap perbuatan manusia ada landasan hukumnya. Tujuannya tidak lain untuk menjaga keseimbangan dan kepentingan manusia itu sendiri.

Perilaku homoseksual mengancam keseimbangan dan kepentingan manusia. Gay dan lesbian mengancam keberlangsungan pertumbuhan umat manusia. Padahal bumi membutuhkan manusia untuk menciptakan keselarasan hidup. Selain itu, terbukti gay dan lesbian menjadi penyebab faktor penting dalam penyebaran virus HIV dan penyakit AIDS, selain penggunaan jarum suntik pada narkoba.

Wajar dan tepat bila Islam mengharamkan perilaku seperti ini. Bahkan Islam memberikan sanksi yang keras pada para pelaku gay dan lesbian. Jumhur ulama bersepakat bahwa pelaku gay (liwath) mendapat hukuman mati. Nabi saw. bersabda:

مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوهُ ، الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ

“Barangsiapa yang menjumpai satu kaum yang melakukan seperti perbuatannya kaum Nabi Luth maka bunuhlah ia, pelakunya dan obyeknya (temannya).”(HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasaiy, Ahmad).

Gay dan lesbian adalah tindak kriminal, bukan penyakit ataupun kelainan jiwa. Terbukti para ahli biologi, kedokteran dan sosiologi, membuktikannya.

Akan tetapi selama kaum muslimin masih menerima demokrasi dan HAM sebagai patokan dalam kehidupan, maka desakan agar menerima gaya hidup gay akan terus dikumandangkan. Mereka merasa hal itu sebagai hak-hak warga negara yang wajib dilindungi. Tampak jelas gay, lesbian, voyeurism, sadomasochism, pedofili, bestality dan perzinaan tumbuh subur dalam masyarakat demokrasi.

Oleh karenanya, hanya dengan penegakkan syariat Islam, perilaku seksual akan dapat dihilangkan. Tanpa itu, mustahil umat dapat diselamatkan dari kejahatan yang mengundang malapetaka ini. Sejarah mencatat kota Pompeii di Itali yang terkubur letusan Gunung Vesuvius, ternyata penduduknya berperilaku menyimpang. Perzinaan dan pelacuran merajalela, termasuk gaya hidup homoseksual dan lesbian. Rumah-rumah pelacuran banyak berdiri hampir menyamai jumlah rumah penduduk, dan imitasi alat kelamin lelaki digantung sebagai hiasan rumah di mana-mana. Sampai kemudian kota tersebut terkubur dalam-dalam oleh lahar.

Mahabenar ALLAH dengan segala firmanNya:

فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.”(QS. Al-An’am: 44).

sumber artikel : http://www.iwanjanuar.com/gay-bukan-genetis-beginilah-cara-islam-menangani-kaum-homoseksual/?fbclid=IwAR2Hl0vfozWO6cXTFhkzRClmv0kk26S-LbxYxAyK-SuILIXuYaarYkeeWc4 oleh Iwan Januar October 15, 2013

Setelah “gay gene” tak (akan pernah) terbukti….

sumber gambar : https://img.jakpost.net/c/2019/03/20/2019_03_20_68107_1553071053._large.jpg

1. HAM
Adalah hak azazi untuk mengatur diri sendiri termasuk jenis kelamin dan orientasi seks. Terserah yang punya badan seandainya jenis kelamin laki-laki tapi ingin menikah dengan laki-laki. Atau ingin berdandan dan bergaya seperti perempuan. Juga tak ada yang bisa melarang laki-laki berhubungan seks dengan laki tapi juga suka dengan perempuan. Begitu juga untuk yang perempuan. Bebas bergaya berlagak seperti laki-laki dan suka perempuan. Atau gaya tetap perempuan tapi suka perempuan. Dan kalau sudah bicara HAM, standar nya sudah pasti barat yang sekuler liberal tanpa peduli nilai agama. Karena mereka memposisikan HAM diatas agama.
https://www.amnestyusa.org/the-state-of-lgbt-rights-worldw…/

2. Kaum liberal sekuler

Dalil agama yang melarang suka dan berhubungan seks sejenis sudah tak relevan. Kalau homo dan biseks dilarang, mengapa negara barat yang banyak homo nya tak dihancurkan seperti kaum nabi Luth? eLGiBiTi yang salah atau cara pandang kita terhadap agama yang keliru? Apa iya, walau sangat baik tapi Homo atau Bi, atau Trans atau Lesb tetap masuk neraka? Kok ngga adil ya?

Pernah dengar pernyataan-pertanyaan seperti itu? Sile googling sesiapa yang pernah ber statemen seperti itu.

https://www.bbc.com/…/majalah/2016/02/160216_trensosial_mus…
https://www.republika.co.id/…/nqyqw2-ade-armando-allah-tida…
https://www.dw.com/id/lgbt-mulia-di-sisi-allah/a-19070695

Karena gerakan eLGiBiTi ini sadar, mereka tak bisa berketurunan, jadi harus menambah simpatisan dan pengikut untuk tetap bertahan. Mereka perlu “support all out” dari orang-orang “keminter” lagi nekat. Dengan kesaktiannya Liberal Sekuler berani memutar balik bahkan menantang dalil agama. Logikanya “terkesan” kuat, sehingga bisa mengganggu keyakinan anak-anak kita yang masih remaja.

3. Tekanan Asing

Sepertinya indonesia dibuat tak berdaya dalam hal apapun termasuk dalam menghadapi isu eLGiBiti. https://www.beritasatu.com/…/bamsoet-sebut-ada-tekanan-asin…
http://politiktoday.com/duta-besar-negara-uni-eropa-lobi-d…/

Tekanan dari dunia barat sangatlah kuat, entah apa kepentingannya. Teori “proxy” cukup masuk akal untuk jadi jawaban.
https://nasional.tempo.co/…/menteri-pertahanan-lgbt-itu-bag…

Isu eLGiBiTi juga merupakan isu “duit gede” bukan recehan yang dikumpulkan dengan kaleng kencleng. Hingga sanggup membuat orang dengan mental miskin “fight” bertarung demi bayaran. https://www.republika.co.id/…/o2fsmh282-undp-keluarkan-rp-1…

Sandaran untuk tetap menjadi eLGiBiTi sangatlah rapuh kecuali mengais-ngais perlindungan dibalik isu HAM, dan mendekati sekuler liberal sebagai “JUBIR”, sambil berharap tekanan asing plus “duit gede” nya. Tinggallah yang bodoh dan jauh dari tuntunan jadi bingung dan meng IYA kan.

Kalau alasannya HAM, jangan lupakan HAM nya perempuan korban lelaki BISEKS yang entah istri atau pacar yang sering jadi korban tertular HIV. Jangan lupakan HAM nya anak-anak yang tertular HIV dari orang tua yang BISEKS atau korban predator. Jangan lupakan HAM nya anak yang jadi yatim, bahkan yatim piatu yang orangtuanya mati karena AIDS sedang ia sendiri HIV positiv dan harus minum obat seumur hidup.

Jangan juga lupakan HAM nya tenaga kesehatan yang berisiko tertular saat merawat si HoMO atau Bi yang HIV sementara pegiat HAM pergi menjauh. https://m.jpnn.com/news/pekerja-rs-rentan-tertular-hivaids

Jangan lupakan HAM nya pemandi jenazah yang memandikan jasad Homo / bi dengan serius sementara kawan Homo nya tak mampu memandikan, apalagi men sholat kan. https://lifestyle.okezone.com/…/waspada-penyakit-penyakit-i…

FYI, kita memang bukan pemegang kunci pintu sorga tapi agama memberitahu kita mana arah sorga mana arah neraka. Kita juga tak bisa memaksa orang percaya akan adanya sorga dan neraka, karena tugas kita semua hanya menjadi da’i.

#JagaAnakTurunan
#AgamaDiAtasHAM
#SemogaDiluruskanNiat

https://harvardmagazine.com/2019/…/there-s-still-no-gay-gene
https://www.cbc.ca/…/genes-dna-same-sex-behaviour-study-1.5…