Category Archives: Warta Non Hetero

Amrad

Kekerasan dan pelecehan seksual sudah menjadi ancaman serius. Kurangnya filter dan self control menyebabkan kejahatan tersebut kian meningkat dari tahun ke tahun.

Tak main-main kaum perempuan dan laki-laki baik anak-anak, remaja, hingga dewasa sekarang semua terancam dengan para predator seksual yang kerap menyamar dibalik teman sendiri, teteangga sendiri, bahkan keluarga sendiri. Para predator seksual ini selalu baik dalam menyembunyikan karakter aslinya mereka selalu berperilaku baik, santun, ramah namun ternyata ada maksut dibalik itu semua.

Perlunya edukasi tentang seksualitas terhadap masyarakat dan terutama orang tua diharapkan akan memberikan bekal terhadap anak atau individu dalam membentengi diri dari ancaman predator seksual.

Amrad

Sumber : https://islam.nu.or.id/post/read/82840/mengenal-istilah-amrad-dalam-syariat Kamis 2 November 2017 07:30 WIB

Meskipun secara kodrati seorang lelaki ditakdirkan menyukai perempuan, begitupun sebaliknya, tidak bisa dipungkiri bahwa ada kejadian-kejadian yang menyebabkan seseorang bisa terjebak dalam pesona sesama jenis. Tentu hal ini dilarang agama. Dalam fiqih, hal ini kerap dibahas dalam masalah amrad hasan.

Meskipun tidak populer di masyarakat, kejadian-kejadian yang tidak diinginkan akibat interaksi seorang pria dengan amrad ini kerap terjadi. Secara bahasa, dalam kamus Lisanul Arab karya Ibnul Manzhur, amrad berasal dari kata al-mardu (المرد) yang memiliki arti bersih, meluruh. Ibnul A’rabi, sebagaimana dikutip Ibnul Manzhur, menyebutkan bahwa al-mardu adalah pipi yang bersih dari kumis dan jenggot, diserupakan sebagaimana dahan yang bersih dari dedaunan.

Amrad didefinisikan sebagai berikut:

والأَمْرَدُ: الشابُّ الَّذِي بلغَ خُرُوجَ لِحْيته وطَرَّ شَارِبُهُ وَلَمْ تَبْدُ لِحْيَتُهُ

Artinya: Amrad adalah pemuda yang selumrahnya sudah tumbuh jenggot dan kumisnya, namun belum tumbuh.

Ukuran usia muda ini tidak dibatasi sampai usia tertentu. Dikatakan para ulama bahwa anak-anak yang masih polos dan belum tampak ciri laki-lakinya seperti bulu kaki dan tangan, kumis serta jenggot, kerap mengundang syahwat akibat ketampanan atau keelokan parasnya. Secara fiqih, yang menjadi masalah dalam hal ini adalah mereka ini juga menimbulkan hasrat bahkan bagi kaum pria.

Apakah ini penyimpangan? Ulama terdahulu mengantisipasi adanya kemungkinan munculnya hasrat lelaki kepada sejenisnya, terutama pada pemuda yang belum muncul ciri-ciri kelelakiannya itu. Para fuqaha’ pun menyusun penjelasan tentang amrad hasan yaitu seorang amrad yang berparas rupawan. Amrad hasan, atau anak muda yang belum tumbuh kumis atau jenggot sehingga tampak rupawan dan memesona sesamanya, dalam beberapa hal dihukumi sebagaimana interaksi lelaki dengan perempuan, seperti dalam perihal melihat aurat.

Imam an Nawawi menyebutkan dalam Al Majmu’ Syarhul Muhaddzab mengenai hal ini:

ولا يجوز النظر إلى الأمرد من غير حاجة لأنه يخاف الافتتان به كما يخاف الافتتان بالمرأة

Artinya: Tidak diperbolehkan melihat kepada amrad tanpa kepentingan tertentu karena ditakutkan akan terjadi fitnah sebagaimana terjadinya fitnah bagi perempuan (yang bersama laki-laki).

Selanjutnya, Imam an-Nawawi menjelaskan dalam Syarhun Nawawi ‘ala Shahih Muslim mengenai alasan larangan melihat seorang amrad, baik dengan syahwat maupun tidak, maupun dikhawatirkan fitnah atau tidak.

وَدَلِيلُهُ أَنَّهُ فِي مَعْنَى الْمَرْأَةِ فَإِنَّهُ يُشْتَهَى كَمَا تُشْتَهَى وَصُورَتُهُ فِي الْجَمَالِ كَصُورَةِ الْمَرْأَةِ بَلْ رُبَّمَا كَانَ كَثِيرٌ مِنْهُمْ أحْسَنَ صُورَةً مِنْ كَثِيرٍ مِنَ النِّسَاءِ بَلْ هُمْ فِي التَّحْرِيمِ أَوْلَى لِمَعْنًى آخَرَ وَهُوَ أَنَّهُ يَتَمَكَّنُ فِي حَقِّهِمْ مِنْ طُرُقِ الشَّرِّ مالا يَتَمَكَّنُ مِنْ مِثْلِهِ فِي حَقِّ الْمَرْأَةِ

Alasan larangan melihat amrad sebagaimana larangan melihat aurat perempuan. Sesungguhnya amrad juga bisa merangsang syahwat akibat keelokan parasnya sebagaimana perempuan, bahkan ada sebagian besar yang lebih bagus parasnya dari perempuan. Tetapi, dalam hal melihat amrad, keharaman itu lebih utama, sebab dimungkinkan sekali terjadi perbuatan buruk yang tidak terjadi sebagaimana interaksi pria dan perempuan.

Dari beberapa argumen ini, ulama fiqih memberikan pandangan terhadap kekhawatiran mereka akan kecenderungan seorang lelaki menyukai lelaki, terlebih pada anak-anak yang belum tampak “tanda kelelakiannya”. Kekerasan seksual pada anak kerap kali bisa bermula dari hal-hal seperti ini.

Melalui penjelasan di atas, kiranya perlu bagi orang tua, para pendidik, maupun masyarakat untuk mendapat edukasi seksual yang bijak dan menyadari adanya penyimpangan-penyimpangan yang tidak sejalan dengan ajaran Islam, sehingga keluarga dan orang-orang sekitar dapat terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Wallahu a’lam. (Muhammad Iqbal Syauqi).

Waspada Dunia Pelangi di Dalam Anime

sumber gambar : https://statik.tempo.co/data/2016/04/01/id_494460/494460_620.jpg

Anda suka anime ?

Pasti jawabannya “Ya saya suka anime” termasuk saya juga ! penggemar anime sejak kecil terutama anime yang bergenre action dan olahraga.

Siapa sih yang gak suka anime, hampir seluruh anak kecil hingga orang dewasa pasti tahu dan suka dengan anime.

Ada berbagai genre anime yang sekarang bermunculan, dari yang biasa sampai anime ektrim pun ada.

Kalo saya dari kecil sukanya cuma anime itu – itu saja seperti naruto, captain tsubasa, dragon ball, dan upin – ipin walaupun serialnya diulang – ulang ditonton berulang – ulang tetap tidak bosan,hahahaha

Seiring dengan perkembangan jaman dan teknologi dan makin mudahnya akses internet untuk berbagai kalangan masyarakat, Semua dari anak kecil, orang dewasa, orang tua, semua pegang yang namanya smartphone dan tidak mungkin kalo tidak bisa membukka akses internet.

Karena kebebasan dan kemudahan akses internet itulah maka juga semakin lebarnya kesempatan hal – hal negatif untuk diakses, walaupun di mesin pencarian google di negara kita sudah tidak akan keluar jika mengetikkan kata kunci berbau mesum namun ketahuilah bukan hal sulit untuk menemukan hal negatif dan mesum di internet dengan kecanggihan teknologi saat ini, terutama dalam tulisan ini saya mengkhususkannya ke anime.

Tulisan ini saya salinkan dari anggota group facebook menanti mentari, yang sharing tentang fenomena dunia pelangi di dalam anime dan efeknya.

Simak penjelasannya

Jadi gini. Beberapa hari lalu, ada postingan grup Polygot di beranda saya yang membahas guyonan LGBT, saya baca sekilas komentar-komentar netizen. Lalu perhatian saya teralihkan pada beberapa akun yang menggunakan pp anime.

Saya stalk. Dan nyesek saya bacanya saat kepoin juga akun lain yang mirip-mirip. Pemilik akun-akun tersebut kebanyakan adalah para remaja, dan mereka mengaku sebagai wibu. Wibu adalah sebutan untuk orang yang amat menggemari segala hal tentang Jepang, entah anime, manga, serial drama, kebudayaan, bahasa dan lain sebagainya tentang Jepang. Biasanya kebanyakan wibu adalah otaku. Otaku adalah sebutan untuk orang yang benar-benar fanatik serial anime, manga, tokusatsu.

Gak ada yang aneh dari para wibu atau otaku. Sah-sah aja toh dulu jaman saya SMP ~ SMA saya sempat menjadi wibu/otaku (sekarang enggak, udah emak-emak). Yang bikin saya terkejut dan nyesek adalah wibu dan otaku jaman sekarang ternyata lebih SINTING daripada generasi jaman dulu (90’an akhir ~ 2000’an awal). Serius SINTING.

Mungkin karena jaman millenial ini segala informasi mudah diakses bahkan sulit untuk disaring. Sehingga muatan-muatan negatif yang dimiliki oleh kebudayaan negara lain akhirnya tertelan mentah-mentah.

Jepang misalnya, bangsa Jepang terkenal bersih, disiplin dan hardworking. Tetapi mereka juga punya sisi negatif lain, salah satunya budaya LGBT yang dibiarkan tumbuh subur di sana bahkan mungkin sudah menjadi budaya pop. LGBT begitu transparan, gak lagi tabu bahkan diterima meski pun belum ada undang-undang yang meresmikan pernikahan sesama jenis. Begitu yang pernah saya baca. Di sana itu, sebuah perusahaan gak bisa main pecat karyawan yang ketahuan LGBT. Malah mereka diberi hak yang sama seperti karyawan lainnya, misal karyawan yang memilik pasangan sejenis dan anak adopsi diberi fasilitas tunjangan kesehatan dan asuransi jiwa dari perusahaan, mereka diberi hak yang sama dengan pasangan hetero yang lain. Gak boleh ada yang menjudge malah. Demikian lah Jepang, negara yang belum meresmikan pernikahan sesama jenis, tetapi LGBT begitu diterima. CMIIW.

Dulu jaman saya sekolah tahun 90’an sampai 2000’an. Satu-satunya media yang memberikan informasi soal anime dan manga hanya televisi dan penerbit elex, juga majalah-majalah anime. Memang saat itu ada warnet namun gak banyak. Di jaman itu kita disuguhkan beberapa anime yang genre nya masih aman, seperti Detektif Conan, Captain Tsubasa, Rurouni Kenshin, Inu Yasha, beberapa serial tokusatsu (Power Ranger, Ultraman, Kamen Rider), serial J-Drama dan anime lain sebagainya. Saat itu sependek yang saya tahu, semua masih aman, para wibu/otaku remaja masih lebih suka serial kisah cinta male x female. Normal.

Namun sekarang? Kebanyakan selera para otaku/wibu jaman now melenceng dari jalur. Selera percintaan mereka mulai bergeser ke arah LGBT. Bahkan mereka berpendapat, jaman now gak musim lagi kisah cinta lawan jenis. Jaman sekarang lebih asik serial Yaoi dan Yuri.

FYI, Yaoi adalah anime/manga kisah Boy’s love (kisah cinta antara sesama laki-laki/Gay) dan Yuri adalah anime/manga kisah Girl’s love (kisah cinta antara sesama perempuan/Lesbian).

Jaman now para otaku dan wibu sudah banyak juga yang melenceng seleranya. Siapakah mereka? Mereka adalah Fujoshi dan Fudanshi.

Fujoshi adalah sebutan untuk kaum cewek yang sangat menggemari serial anime/manga Yaoi Yuri.

Fudanshi adalah sebutan untuk kaum cowok yang sangat menggemari serial anime/manga Yaoi Yuri.

Betapa jumlah mereka mulai semakin banyak dan sangat banyak. Anak remaja yang tadinya straight bisa banget berpotensi SSA. Kok bisa? Bisa lah. Kan cerita yang disuguhkan dikemas sangat manis dan indah. Tahu sendiri lah manga-manga Jepang yang pernah kita baca, ceritanya selalu menarik dan bervariasi. Termasuk manga/anime LGBT. Menurut mereka cinta itu universal, tidak peduli apa pun jenis kelaminnya, cinta adalah cinta. Nah, rasanya saya juga dulu pernah berpikiran sama.

Jaman saya sekolah dulu saya langganan majalah Animonster. Majalah anime/manga terkeren pada jamannya. Di majalah itu banyak sekali bahas anime manga terbaru, bahkan membahas tentang musik, drama, hingga kebudayaan dan bahasa Jepang. Dan saya tahu soal LGBT dari majalah tersebut. Ada beberapa volume yang mengupas tuntas perkara anime/manga LGBT. Dari majalah itu saya tahu anime/manga mana saja yang genrenya LGBT dan mana yang enggak. Dan manga LGBT pertama yang saya baca judulnya adalah GRAVITATION (Yaoi).

Saat itu saya antusias, pikir saya keren nih kisah cinta cowok x cowok, maka saya baca lah manga itu. Manga Gravitation berkisah soal seorang rocker muda yang terkenal yang jatuh cinta kepada seorang penulis tekenal. Keduanya adalah publik figure. Karena mereka figure terkenal, mereka menyembunyikan hubungan terlarang mereka dari publik, lalu suatu hari hubungan mereka akhirnya ketahuan, kemudian ramailah berita percintaan homo mereka sampai geger se-Jepang. Lalu ada scene di mana si novelis ini mengadakan konferensi pers lalu menyatakan kepada publik bahwa tidak ada yang salah dari hubungan mereka, kurang lebih begini isi dialog balonnya ;

“Apa yang salah dari cinta kami? Apa hanya karena dia seorang laki-laki lalu aku tak berhak mencintainya? Seandainya dia seorang gadis, aku pun pasti akan mencintainya. Hanya kebetulan ia adalah seorang laki-laki. Jadi tak ada yang salah dari cinta kami.”

Nah dulu saat saya masih remaja, saya sempat terbius juga tuh dengan quotes tersebut. Ya saya pikir gak ada yang salah kok, namanya juga cinta. Namun tetap sih di hati kecil, saya merasa jengah juga, untungnya saya gak jadi Fujoshi. Saya masih lebih suka serial manga/anime yang genrenya normal-normal aja. Alhamdulillah. Karena kalau enggak, kemungkinan saya bakal jadi fanatik fujoshi.

Banyak banget ternyata serial manga/anime yang memasukkan kaum pelangi sebagai tokoh utamanya. Bahkan serial Sailor Moon, Cardcaptor Sakura, Naruto, juga Saint Saiya sebenarnya juga ada unsur LGBT hanya saja tersajikan secara samar/halus. Nah yang halus/samar ini sebutannya serial shounen-ai dan shoujo-ai.

Shounen = Anak laki-laki
Shoujo = Anak perempuan
Ai =Cinta.

Saya pikir gak aneh sih kenapa negara Jepang sangat ramah terhadap kaum pelangi. Karena jaman dulu, di jaman edo, jaman kekaisaran Shogun Tokugawa masih bertakhta, sempat terbentuk suatu kelompok kepolisian samurai yang bertugas sebagai pelindung pemerintahan Shogun dari para pemberontak. Nama organisasi itu adalah Shinsengumi. Mereka ini pasukan khusus yang dibina sejak remaja sampai dewasa hingga terbentuk menjadi pasukan Shinsegumi siap pakai. Kayaknya semacam sekolah militer kali ya, cuma alatnya pedang katana, karena saat pelatihan mereka diharuskan tinggal di asrama. Nah karena dari usia remaja hingga dewasa ketemu nya sema kawan sejenis lagi, dan lagi maka gak sedikit dari mereka yang terlibat cinta lokasi sesama jenis. Banyak manga/anime yang mengangkat tema Shinsengumi, dan biasanya pasti ada saja tokohnya yang diceritakan gay. Karena memang begitulah adanya. Pemerintah kekaisaran dulu gak melarang praktik homosexual merebak di kalangan militer.

Itu di Jepang ya, di negara lain pun pasti ada. Termasuk negara kita, hanya saja negara kita masih waras (semoga seterusnya).

Di dalam serial Rurouni Kenshin juga diceritakan kelompok Shinsegumi ini. Kalau pernah nonton film Rurouken pasti tahu adegan saat di mana Himura Kenshin membantai para samurai muda yang tengah berjalan beriringan di gang sempit, seragam pakaian yukata yang mereka kenakan sangat khas, yaitu berwarna biru muda dengan aksen zigzag putih di tepian lengan. Ciri khas lain kepala plontos menyisakan cepol ditengah, sambil nyelipin pedang katana di sela ikat pinggang. Nah mereka itulah pasukan Shinsengumi. Tapi gak semua anggotanya homo, masih ada kok yang hetero.

Selain Shinsegumi ada juga budaya kuno Jepang yang berpotensi banget mempraktekkan LGBT, yaitu Kabuki. Kabuki adalah seni teater di mana tokohnya adalah seorang aktor yang diwajibkan berperan sebagai seorang wanita (bisa berperan jadi geisha atau wanita bangsawan) pokoknya harus pria yang memerankan peran wanita, gak boleh wanita asli. Semua pemeran harus laki-laki, wanita gak boleh ikut di teater Kabuki. Entah lah kenapa harus begitu, emak pun tak tahu. Belum cek Google.

Di Indonesia juga ada deh, seni ritual kuno yang melibatkan figure transgender sebagai pemimpin ritual adat di dalamnya. Ah saya lupa naman ritualnya dan daerah mana. CMIIW.

Yah, makanya serial manga/anime bahkan drama Jepang sana, udah gak aneh lagi, banyak banget serial yang bertemakan kaum LGBT, bahkan ada satu atau dua boyband yang semua membernya adalah gay. Sengaja katanya demi memuaskan para penggemar fujoshi dan fudanshi. Saya lupa nama boybandnya. Video klipnya sungguh menggelikan.

Makin ke sini ternyata semakin parah. Jaman millenial yang serba cepat mengakses informasi ini, menjadikan anak-anak remaja mudah terpapar LGBT dalam bentuk apa pun. Para wibu/otaku di jaman ini telah banyak menjelma menjadi para fujoshi dan fudanshi. Kata saya sih lebih Sinting.

LGBTQ emang pinter menularkan virusnya. Dikemas dalam bentuk apa pun dan mereka selalu menggaungkan bunyi yang sama, bunyi dialog tiap kali saya baca serial manga yaoi/yuri, pasti kurang lebih gini ;

“Tidak ada yang salah dari cinta kami. Meskipun dia laki-laki dan aku laki-laki, kami saling mencintai.”

atau

“Tidak peduli ia adalah seorang perempuan sepertiku, tidak ada yang salah, kami sama-sama saling mencintai.”

Nah secara gak sadar, pembaca akan tercuci otaknya. Sering baca/nonton serial begituan lambat laun akan menerima LGBT. LGBT akan menjadi gak aneh lagi, bahkan mungkin menantang. Malah kalau saya baca komentar remaja wibu yang fujoshi/fudanshi, mereka akan cenderung lebih menyukai kisah percintaan sesama jenis lalu bukan tidak mungkin mereka akan terpapar hasrat SSA di jiwa mereka atau malah mempraktikkannya. Maka gak jarang, kita temukan remaja jaman sekarang tiba-tiba jadi belok dan malah bangga akan kebelokannya.

Ya itu tadi kisah percintaan sesama jenis dibuat begitu indah dan sweet, lalu penokohan/pewatakan para tokoh imajiner bisa dikemas sangat keren. Dua cowok tampan yang saling jatuh cinta atau dua cewek cantik yang saling jatuh cinta. Ditambah dengan quotes andalan kaum pelangi bahwa Cinta itu Universal, apa pun jenis kelaminnya gak ada yang salah dari cinta kami.

Eww 😑

Sekian …..

Jadi harus lebih waspada sekarang , dan peran orang tua sangatlah penting dalam hal ini, orang tua harus jadi sahabat bagi anak, dengan begitu dalam hal ini orang tua bisa menggali tentang apa saja kesukaan atau apa saja yang suka anak akses di dunia maya.

Orang tua harus mulai mau belajar dengan yang namanya teknologi karena jika orang tua acuh dengan teknologi dan hanya memfasilitasi anaknya dengan kemajuan teknologi yang ada tanpa orang tua juga mau belajar maka antipasi dan pengawasan orang tua kepada anak dari hal negatif hanya sebatas yang ia lihat secara nyata tanpa tahu aktifitas anak di dunia maya.

Karena dunia maya menawarkan fasilitas yang lebih menarik di jaman sekarang, dan siapa saja bisa mendapatkannya.

Semoga kita selalu mendapatkan perlindungan dari ALLAH Ta’ala dari hal – hal yang buruk dan selalu dibimbing dijalan yang lurus.

sumber : https://web.facebook.com/groups/menantimentari/permalink/3513177075424274/ Grup Menanti Mentari merupakan grup khusus dari Peduli Sahabat yang menampung suami atau istri (juga para simpatisan) yang pasangannya diketahui berorientasi non-heteroseskual.

Penyebab SSA

Kawan, agar tidak bingung ini Kak Sinyo sarikan 3 hal yang membentuk orientasi seks seseorang (heteroseksual, homoseksual/ssa, biseksual, aseksual, dll.).

1. Biologis
Ini yang sering diributkan antara kelompok yang pro dan kontra LGBT. Sampai saat ini biologis memang PASTI menjadi salah satu faktor (karena kita kan makhluk biologis). Hanya saja sejauh manakah pengaruh biologis mempengaruhi orientasi seksual seseorang masih menjadi perdebatan. Antara peneliti di APA(American Psychological Association) dan NARTH (The National Association for Research & Therapy of Homosexuality) masih tarik ulur.

2. Psikologis (keluarga, rekan, sosial)
Jelas dan terang (hal-hal yang berhubungan dengan pendidikan atau kontak langsung dengan kita, misalnya pendidikan dalan keluarga, hubungan dengan teman sebaya, dll.)

3. Faktor Sosial (lingkungan dll.)
Jelas dan terang (Berkenaan dengan lingkungan seperti adat budaya yang secara tidak langsung turut memberi sumbangan pada kita).

Nah, nomor 2 dan 3 sudah jelas pengaruhnya, dan itulah yang membedakan antara NARTH dan APA.

APA mengabaikan nomor 2 dan 3, mereka sudah menutup mata hanya nomor satulah penyebab seseorang mempunyai orientasi seksual.

Sementara NARTH menekankan bahwa nomor 2 dan 3 lah penyebab utama orientasi seksual.

Apakah layak sesuatu yang masih ‘absurd’ dijadikan tolak ukur mengambil keputusan? Misalnya saya menjadi ‘gay’ karena adanya cetak biru ‘gay gene’? Ya silakan berbuat semaunya tapi kelak kita akan dimintai pertanggungjawaban.

Jika orientasi seksual adalah ‘niat’ dan tindakan seksual adalah realisasi dari niat itu maka perlu dipahami bahwa dalam Islam yang jelas dilarang adalah tindakan homoseksual, bukan orientasi seksualnya.

Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshari al-Badri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui manusia (secara turun-temurun) dari kalimat kenabian terdahulu adalah: ‘Jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu.” [HR. Al-Bukhari]

“Malaikat Jibril datang kepada Nabi Saw, lalu berkata, “Hai Muhammad, hiduplah sesukamu namun engkau pasti mati. Berbuatlah sesukamu namun engkau pasti akan diganjar, dan cintailah siapa yang engkau sukai namun pasti engkau akan berpisah dengannya. Ketahuilah, kemuliaan seorang mukmin tergantung shalat malamnya dan kehormatannya tergantung dari ketidakbutuhannya kepada orang lain.” [HR. Ath-Thabrani]

Sumber : https://web.facebook.com/groups/pedulisahabat2014/

Mairil

Mairil ?

Dalam perjalanan panjang Gambir – Kediri, di atas kereta api Gajayana, aku menanggapi sepenggal kisah dari putriku yang hari itu kuantar kembali ke Pesantrennya. “Ayah, aku boleh sharing gak…” Youma meminta izinku. Aku menganggukkan kepala tanda setuju. “Ada kejadian yang aku sebenarnya gak setuju banget, tapi kayanya sudah dianggap biasa, beberapa temanku yang junior, takut mengadukan hal ini kepada pengurus.” “Soal apa sih kak?” Tanyaku menyelidik. “Hmmm, waktu zaman ayah nyantri dulu apakah suka ada yang namanya Mairil?.”

Deg….

Aku memutar tubuh, memandangi wajah lugunya yang penuh harap akan jawabanku. “Ya kak, Mairil itu sejenis rasa suka sama sejenis, apa yang sudah kamu ketahui tentang hal itu?” Aku kembali bertanya, aku ingin dia mengemukakan semua yang dia tahu. “Iya yah, temanku jadi korban, tapi dia gak berani marah apalagi sampe ngadu ke pengurus. Tapi aku pernah tanya langsung ke salah seorang pengurus, hanya dijawab begini, “itu soal biasa di pesantren, nanti juga hilang sendiri.” Begitu jawaban pengurus di pesantrenku, tapi aku kan jijik, soalnya tuh kadang – kadang mereka yang sampe kaya pacaran gitu, saling perhatian, sampe dibelikan makanan, dicucikan baju, terus kaya dilindungin gitu deh.”

Enough

Aku bersyukur, sejak kecil putriku sangat terbuka untuk menceritakan apapun peristiwa yang terjadi, sejak dari sekolah dasar sampai sekarang di usia memasuki sekolah menengah atas. Keterbukaan semacam ini penting, agar kita sebagai orang tua, bisa bersama – sama anak merenda kehidupan yang keras dengan berbagai ujiannya.

Fenomena Mairil, sepertinya dianggap biasa, padahal ia bisa meningkat pada aktivitas seks yang mengerikan. Di Pesantren dikenal dengan istilah “nyempet”. Nyempet merupakan jenis atau aktivitas pelampiasan seksual dengan kelamin sejenis yang dilakukan seseorang ketika hasrat seksualnya sedang memuncak, sedangkan mairil merupakan perilaku kasih sayang kepada seseorang yang sejenis.

Perilaku nyempet terjadi secara insidental dan sesaat, sedangkan mairil relatif stabil dan intensitasnya panjang. Namun dalam banyak hal antara nyempet dan mairil mengandung konotasi negatif, yaitu sama – sama terlibat dalam hubungan seksual satu jenis kelamin.

Salah seorang pelaku Mairil yang saya kenal dengan baik, bahkan berlanjut setelah lulus dari Pesantrennya di Jawa Barat. Ketika akhirnya menikah ternyata hanya bertahan dua tahun, karena terbukti sang istri dianggurin alias tidak disentuh. Mereka bercerai, istrinya sudah menikah lagi dan setahun kemudian melahirkan. Sementara temanku itu sampai sekarang tidak menikah lagi. Meskipun pengetahuan agamanya sangat bagus, di kampungnya dia seorang ustadz yang cukup disegani.

Lain lagi cerita Munaryo, bukan nama sebenarnya, ia benar – benar aktivis L*BT, cowok berkulit putih dan berambut panjang ini memegang jaringan utama homoseksual untuk alumni Pesantren. Gila, tapi ini fakta yang sebenarnya. Lelaki berwajah imut ini pernah menyampaikan kepada saya, “alumni – alumni Pesantren yang tidak punya salurannya, kan perlu difasilitasi ustadz, beberapa dari mereka sudah pernah berkencan dengan saya, suka sama suka, tanpa paksaan.”

Stop…

Apa yang saya ceritakan bukan yang pertama, Syarifuddin, alumni Pesantren Wonorejo, bahkan pernah menuliskan sebuah buku kontraversial yang diberi judul, “Mairil, Sepenggal kisah biru di Pesantren.”

Budaya Mairil, saya duga, tidak akan segera berakhir, iklim sosiologis Pesantren serta kekurangpedulian pengurus pada fenomena ini, menjadi salah satu indikator dugaan saya. Aktivitas harian yang mempertemukan kelamin sejenis berpeluang melahirkan apa yg disebut dalam istilah Jawa, “witing tresno jalaran songko kulino_cinta tumbuh karena terbiasa.” Tapi kan itu sejenis? Bukankah mereka juga belajar bahwa yang demikian itu diharamkan? Tidakkah materi fikih dan hadits apalagi kitab akhlaq banyak menyinggung persoalan ini? Ya, benar sekali, tapi boleh jadi, ketiadaan lawan jenis di sekitar Pesantren telah membentuk konstruksi seksual yang demikian itu.

Maka, pada saat diberi amanat mendirikan pesantren, hal pertama yang saya lakukan adalah membuat kamar besar yang menampung semua santri, dan menyediakan kamar kakak pendamping di dalam ruangan besar asrama santri itu. Berikutnya adalah mendirikan Asrama putri di area Pesantren besar juga dengan konsep yang sama. Mereka masih bisa berjumpa saat sekolah, apel, makan dan sholat jamaah. Meskipun bukan tanpa hambatan, karena ujian awal adalah banyak santri yang ketahuan berpacaran, meskipun hanya lewat surat – suratan lewat modus “tukar buku pelajaran”, tapi Alhamdulillah seiring waktu semua dapat dikontrol lewat pendampingan. Setiap pekan ada small gathering antara kakak pendamping dengan adik – adik dampingannya. Sejauh ini sih efektif, mereka mulai terbangun spirit mengasihi sebagai keluarga, keluarga besar Pesantren Motivasi Indonesia.

Bukan Penyakit

Budaya Mairil di Pesantren yang tumbuh lewat sebuah sistem yang tak direncanakan namun dibiarkan (karena sejauh ini tidak pernah ada ta’zir khusus atas pelanggaran seperti ini), hal demikian juga terjadi pada kasus tumbuh kembang anak di lingkungan keluarga yang tak sempat mengenali perubahan orientasi seksual anak – anak.

Pada banyak kasus dampingan, saya menemukan “pembiaran” di masa awal sebagai biang keladi paling efektif liarnya orientasi seksual anak. Beberapa data kasus yang pernah saya tangani, Ada anak laki – laki yang tumbuh bersama semua saudaranya yang perempuan, lalu ia berubah orientasi ke arah feminin.

Ada juga anak perempuan yang sejak masa kehamilannya dulu diharapkan oleh orang tuanya terlahir laki – laki, faktanya ia lahir sebagai perempuan. Jiwanya labil, di usia remaja ia memilih menjadi perempuan macho, waktu anak ini berumur 14 tahun pernah bertanya kepada saya di mana dokter yang bisa membantunya operasi kelamin, “aku sudah muak terlahir sebagai perempuan ust, jiwaku, lahir batin adalah lelaki.” Begitu kata dia, saya masih mengingatnya dengan jelas.

Ada juga kasus seorang anak yang tumbuh di keluarga religius, ia tumbuh dengan dua saudara lelaki dan lima saudara perempuan, namun sejak kecil memilik fantasi seks yang luar biasa, wajahnya yang standar membuatnya frustasi karena tidak pernah mendapatkan pacar, sehingga suatu waktu mendapatkan pelecehan seksual (baca: sodomi) dari pamannya. Ia berkembang menjadi pecinta laki – laki, namun, usai pendampingan, Alhamdulillah orientasi seksualnya dapat diarahkan untuk kembali normal. Kini ia sudah menikah dengan perempuan yang dicintainya dan telah memberinya keturunan, dua anak kembar perempuan.

Ada lagi kasus keluarga dari minoritas tionghoa, ya Allah temanku ini, meski beda agama mereka orang – orang baik, tapi perlakuan para tetangga kepada mereka sangat keji, tudingan sebagai antek PKI amat menyakitkan. Mereka hijrah dari Jakarta lalu bertekad menjadikan anak – anaknya sukses lewat pendidikan tinggi. Salah satu putranya berhasil menamatkan magister bisnis di Sorbonne University, Paris, lalu tinggal di sana, setelah menikah ternyata ditinggal istrinya yang selingkuh. Tekanan demi tekanan dalam hidupnya membuatnya memilih menjadi Homoseksual. Ia mendapatkan kepuasan batin bersama teman prianya.

Belum lagi cerita seorang teman yang lahir dan besar di tengah dominasi keluarga baik orang tua maupun kakak – kakaknya. Rafi, sebut saja begitu, merasa dikerdilkan, tak punya hak suara, keputusan selalu didominasi oleh keluarganya. Ia bagaikan boneka yang tak boleh protes, meskipun harta berlimpah, tekanan batinnya tak jua dimengerti sehingga ia berjumpa dengan teman lelakinya yang memberinya perhatian, mereka jatuh cinta dan kini tinggal serumah di Amsterdam.

Rumah adalah pesantren kecil. Pesantren adalah rumah besar. Bila di rumah ada ayah, ibu, kakak dan adik, maka di Pesantren ada Kyai, ustadz pendamping dan juga teman – teman sepengajian dan sepergaulan. Di antara keberadaan para subjek di atas ada sebuah sistem nilai dan juga rules yang terkadang tidak berpihak kepada mereka yang berorientasi seksual berbeda.

Bagi saya, homoseksual bukan penyakit, apalagi disejajarkan dengan Schizophrenia. Penderita Schizophrenia dikarenakan kesadarannya yang berubah, seringkali tingkah polah mereka jadi aneh (Bisa tampak lucu, ngoceh sendiri atau paranoid ). Tetapi, bukannya kasihan, orang yang sakit seperti ini justru seringkali jadi bahan tontonan, bahan olok – olok yang seolah asyik.

Kegagalan Parenting

Homoseksual dan Lesbian atau Mairil pada budaya Pesantren maupun di rumah adalah fakta kegagalan parenting. Orang tua dan pengasuh anak boleh jadi terlalu asyik dengan dunianya sehingga tak mengenali disorientasi seksual anak – anaknya. Seiring waktu mereka tumbuh bersama fantasi yang tak bisa dikekang. Pada gilirannya mereka tinggal menunggu bom waktunya; kekecewaan mendalam, selalu disalahkan, dipermalukan di depan umum, kerap menjadi objek bullying dan dikucilkan dalam dominasi lingkungan sekitar.

Semua fakta ini saya beberkan dari sisi kemanusiaan untuk bisa mengenali mereka. Bahwa pilihan menjadi Homoseksual atau Lesbian bukan sesuatu yang baru datang, ada sejuta persoalan yang melatarbelakanginya. Lalu tiba – tiba saja sebagian kita mem-bypass-nya dan tampil sebagai polisi agama menghujat, mencaci, memaki, menyebut mereka gila, menuduh pewaris kaum sodom, pengundang adzab Tuhan dan karenanya harus segera dibumi – hanguskan, sebagaimana dulu kaum Sodom dihancurkan Tuhan.

Saya yakin ada skenario Tuhan yang lebih positif untuk memanggil para pemerhati kemanusiaan, menemukan upaya pendampingan terhebat, bukan dengan legalitas perkawinan antar mereka, tetapi penerimaan atas eksistensi mereka sebagai makhluk Tuhan, manusia seperti kita.

Terkadang, ada sesuatu yang kukhawatirkan, bila ternyata kemudian ada di antara orang terdekat kita yang mengalami itu. Kebanyakan memang perasaan iba bercampur dengan rasa malu tanpa bisa mungkin tidak tahu bagaimana melakukan sesuatu yang bisa mengembalikan mereka, yang ada hanya menyalahkan, mencurigai begitu seterusnya.

Pendampingan terhadap masalah yang sensitif ini tidak pernah terbuka disosialisasikan secara umum dan terbuka, bahkan oleh tokoh agama sekalipun. Sebagian besar akan dicibir karena dianggap mendukung, padahal tujuannya untuk membantu mengatasi masalah ini sampai ke akarnya yang mendalam.

Bahwa ada yang menyebut ini sebagai rekayasa global atau konspirasi internasional menghancurkan Islam, saya rasa terlalu berlebihan, bagaimana tidak, budaya nyempet dan mairil di Pesantren saja masih belum ada penyelesaian. Tokoh agama banyak yang sembunyi di balik busana kesalehan, menyerang dengan hujatan tanpa solusi untuk mengembalikan fitrah mereka. Kasus yang dialami Rahman dan Bowo (dua klien saya yang saya tuturkan pada postingan sebelum ini merupakan fakta tak terbantahkan bahwa rencana taubat mereka saja dimentahkan oleh sebagian kalangan agamawan).

Dompet Cinta

Bila kita mau belajar dari sang utusan, Nabi Muhammad itu sempurnanya seorang teladan. Beliau memiliki spirit kasih yang tak tertandingi oleh manusia manapun di jagat raya ini. Bahkan saat dihancurkan oleh berbagai tipudaya musuh, Sang Nabi tetap saja serius melayani mereka dengan kasih sayang. Sang Nabi benar – benar mengajarkan kepada para penyeru kebajikan untuk memiliki sub-modalitas seperti yang telah beliau contohkan:

1. Equality (kesetaraan). Sang Nabi telah dipilih oleh Allah dari jenis yang sama dengan kita yakni manusia, beliau bukan Jin, bukan pula Malaikat. Karenanya, Nabi tidak diutus kepada umatnya melainkan dengan bahasa kita, kaumnya. Prinsip kesetaraan ini membuat Nabibtak boleh jumawa, meskipun derajat kenabian telah menempatkan beliau sebagai ma’shum (tak tersentuh dosa), tapi meskipun demikian kebiasaan istighfar beliau melebihi kebiasaan semua pengikutnya. Adakah di antara kita yang istighfarnya melebihi Sang Nabi?

2. Empathy (tidak semata – mata perasaan kejiwaan saja, melainkan diikuti perasaan organisme tubuh yang sangat dalam, lebih dari sekedar peduli). Ya, begitulah sang nabi dalam menjalani pendampingan kepada umatnya, sungguh sangat berat terasa olehnya penderitaan yang kita rasakan.

3. Solutif (menyuguhkan jalan keluar). Beliau itu sangat menginginkan keselamatan umatnya, maka sejumlah program dakwah yang mencerahkan dan berorientasi pemberdayaan telah dicanangkan oleh beliau. Beliau kerap menyuguhkan jalan keluar dalam kebingungan yang sedang dialami umatnya. Bukan menghujat apalagi mengutuknya. Kepada mereka yang memusuhinya, sang nabi berdoa, “Ya Allah, tunjukilah mereka, karena sesungghunya merek tidak mengetahui.”

4. Unconditional love (cinta tanpa syarat). Sang Nabi mencintai umatnya lahir batin bahkan menjelang wafatnya beliau berulangkali memanggil-manggil umatnya, ummatiii…ummatiii…ummatiii…. Beliau itu amat besar belas kasihannya serta amat menyayangi kita umatnya.

Duhai para penyeru kebajikan, sudahkan Dompet Cinta-mu terisi penuh dengan empat sub-modalitas kenabian?

Bacalah surat cinta Sang Pencipta yang menegaskan kembali sosok terpilih, Sayyidina Muhammad sebagai teladan kita dalam kehidupan ini:

QS 9/128. Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang – orang mukmin.

Wallâhu A’lam bi ash-shawâb

Enha
Talbot Crescent, London
July 1, 2015 03.00 GMT

WAHAI KOMUNITAS GAY, ANAK-ANAKMU TERLUKA

Komunitas gay, aku adalah anak perempuanmu. Ibuku membesarkan aku di tahun 80 dan 90-an bersama pasangan sejenisnya. Sebelumnya, Dia dan ayahku sudah menikah beberapa lama. Sebelum menikah, ibu sudah tahu kalau beliau gay, tapi jaman dulu keadaan berbeda dengan sekarang. Walaupun dengan kondisi yang cukup rumit, lahirlah aku. Ibu meninggalkan ayah ketika aku berumur dua atau tiga tahun karena beliau ingin dapat kesempatan hidup bahagia dengan seseorang yang benar-benar Ia cintai : seorang wanita.

Ayahku bukan orang hebat juga, karena sesudah Ibu meninggalkannya, Dia tak pernah hadir dalam hidupku lagi.

Kalian ingat ada buku berjudul, ”Heather Has Two Mommies” (“Heather Punya Dua Mama”) ?. Itulah hidupku. Ibuku, pasangannya, dan aku tinggal rumah kecil yang nyaman di lingkungan yang sangat liberal dan berpikiran terbuka. Pasangan Ibu memperlakukan aku seperti anaknya sendiri. Dengan adanya pasangan Ibu itu, aku juga mendapatkan teman-teman gay dan lesbian dari komunitasnya yang serba tertutup. Atau mereka yang mendapat aku sebagai teman?

Apapun itu, aku masih merasa orang-orang gay adalah orang-orangku. Aku belajar banyak dari kalian. Kalian mengajarkanku bagaimana menjadi berani, terutama dalam keadaan sulit. Kalian mengajarkanku empati. Kalian mengajarkan bagaimana mendengarkan, dan cara berdansa. Kalian mengajarkan aku untuk tidak takut akan hal-hal yang berbeda. Dan kalian mengajarkanku bagaimana membela diriku sendiri, walaupun itu berarti aku sendirian.

Aku menulis kepada kalian karena aku berusaha membuka diri : aku tidak mendukung pernikahan sejenis. Tapi alasannya mungkin bukan seperti yang kalian pikirkan.

Anak-anak Membutuhkan seorang Ibu dan Ayah.

Ini bukan karena kalian gay. Aku sangat mencintai kalian. Ini karena sifat alami dari hubungan sesama jenis itu sendiri.

Sepanjang aku tumbuh, bahkan sampai umur 20-an, aku mendukung dan menyetujui pernikahan gay. Setelah beberapa lama meninggalkan masa kecil, pengalaman membuatku merenung dan menyadari konsekuensi yang kualami atas pendidikan dari orang tua yang sesama jenis. Sekarang ini, ketika aku memandangi anak-anakku mencintai dan dicintai oleh ayahnya setiap hari, aku bisa melihat keindahan dan kebijaksaan yang ada dalam pernikahan tradisional dan pendidikan orang tua tradisional.

Pernikahan sesama jenis menyebabkan anak kehilangan salah satu orang tua, ibu atau ayah, dimana si anak diberi penjelasan kalau hal itu tidak masalah, sama saja. Tapi itu tidak sama. Banyak dari kami, banyak dari anak-anakmu yang terluka di sini. Ketidak-hadiran ayahku membuat adanya lubang yang besar dalam diriku, dan hatiku sakit setiap hari mengharapkan seorang ayah. Aku sangat mencintai pasangan ibuku, tapi seorang ibu tambahan tidak akan pernah menggantikan ayah yang hilang.

Aku tumbuh dikelilingi oleh wanita yang mengatakan mereka tidak butuh dan tidak menginginkan seorang pria. Tapi sebagai seorang gadis kecil, aku mati-matian membutuhkan seorang ayah. Rasanya aneh dan membingungkan setiap hari bergerak dengan memendam kerinduan mendalam akan seorang ayah, seorang pria, dalam komunitas yang berprinsip tidak perlu ada pria disini. Ada kalanya aku merasa sangat marah pada ayahku karena tidak pernah hadir untukku, dan kemudian aku bisa merasa marah pada diri sendiri karena menginginkan ayah. Sampai sekarang sebagian diriku masih meratapi rasa kehilangan itu.

Aku tidak bilang kalian tidak bisa jadi orang tua yang baik. Kalian bisa. Aku punya orang tua yang terbaik. Aku juga tidak bilang kalau dibesarkan orang tua normal berarti semua dijamin akan jadi baik. Kita tahu keluarga bisa saja pecah karena berbagai alasan, dan menyebabkan anak-anaknya menderita : perceraian, penelantaran, perselingkuhan, penganiayaan, kematian dan lain-lain. Tapi struktur keluarga yang paling baik dan mempunyai kemungkinan terbesar untuk sukses dalam keluarga dimana anak-anak dibesarkan bersama oleh ayah dan ibunya.

Kenapa Anak-anak Pasangan Gay Tidak Boleh Jujur?

Pernikahan sesama jenis bukan cuma mengubah ulang arti penikahan tapi juga parenting. Pernikahan sejenis mengusung dan menjadikan normal suatu struktur keluarga yang pada intinya menghilangkan sesuatu yang mendasar dan berharga. Ia menghilangkan sesuatu yang secara alamiah kami butuhkan dan dambakan, sementara kami diyakinkan kalau kami tidak butuh itu dan akan baik-baik saja. Tapi kami tidak baik-baik saja. Kami terluka. Kalau ada orang yang bisa bicara tentang kesulitan, itu kami.

Anak-anak dari orang tua yang bercerai bisa berkata, ”hai ayah dan ibu, aku cinta kalian, tapi perceraian ini sudah menghancurkanku dan ini sangat berat bagiku. Kepercayaanku sudah hancur dan aku merasa ini semua salahku. Sulit sekali harus tinggal di dua rumah yang berbeda.” Anak adopsi boleh berkata, ”hai orang tua angkat. Aku cinta kalian. Tapi ini sangat berat untukku. Aku menderita karena hubunganku dengan orang tua pertamaku terputus, aku bingung dan aku merindukan mereka walaupun aku tidak pernah bertemu mereka.”

Tapi anak-anak dari orang tua sesama jenis tidak pernah diberi suara yang sama. Bukan hanya aku. Banyak sekali di antara kami yang terlalu takut untuk maju dan mengatakan pada kalian tentang luka dan sakit kami, karena apapun alasannya sepertinya kalian tidak mau mendengarkan. Seandainya kami bilang sudah terluka karena dibesarkan oleh orang tua sesama jenis, kami diacuhkan atau dicap sebagai hater.

Ini sama sekali bukan tentang benci. Aku tahu kalian mengerti sakitnya diberi label yang tidak benar dan sakitnya diberi label yang tujuannya menistakan atau membungkam kalian. Dan aku tahu kalian sudah merasakan benar-benar dibenci dan disakiti. Aku ada disana, di dalam barisan, saat mereka mengacungkan poster bertuliskan ”Tuhan benci homo” dan ”AIDS menyembuhkan homoseksualitas”. Di jalanan itu aku ikut menangis dan marah bersama kalian. Tapi itu bukan aku. Bukan kita.

Aku tahu ini percakapan yang berat, tapi kita butuh membicarakannya. Kalau ada siapapun yang bisa bicara tentang hal-hal sulit, itu kita. Kalian yang mengajarkannya padaku.

Heather Barwick dibesarkan oleh ibunya dan pasangan sesama jenis ibunya. Ia dahulu seorang yang mendukung pernikahan sesama jenis yang berubah haluan menjadi aktivis hak-hak anak. Ia seorang istri dan ibu dari empat orang anak yang luar biasa aktif.

sumber dan terjemahan dari : https://thefederalist.com/2015/03/17/dear-gay-community-your-kids-are-hurting/?fbclid=IwAR2354DQ1JnId0yyr1fe4z-lk0KO_AhPUpSWKl-GKT637pTEmbo746fhnEU

Mohon maaf apabila terdapat kekurangan dalam penerjemahannya .

Salam Peduli Sahabat