
Kak Sinyo ketika diwawancarai banyak wartawan selepas memberi keterangan menjadi pihak terkait langsung di MK, 08 September 2016.
TEMPO.CO, Surabaya – Di tengah derasnya perdebatan soal homoseksualitas, ada aktivis yang memilih bertindak secara nyata. Bukannya membenci, ia justru membantu ratusan orang yang memiliki ketertarikan terhadap sesama jenis agar dapat menjalani hidup normal. Pria bernama Agung Sugiharto atau akrab disapa Sinyo, terjun untuk menjadi tempat konsultasi obyek kaum Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT).
Sinyo bersentuhan dengan dunia LGBT pada tahun 2008, saat mengikuti lomba penulisan tentang seksualitas. “Saya dulu orang awam, niat awalnya ikut lomba menulis. Mau nggak mau berhubungan dengan narasumber, ternyata di luar dugaan saya selama ini,” katanya saat dihubungi Tempo, Jumat, 19 Februari 2016.
Dari sana ia menemukan fakta bahwa pelaku tindakan homoseksual juga berasal dari kaum heteroseksual. Mereka berubah orientasi seksual setelah mengenal seks sesama jenis. Akhirnya mereka ketagihan. Alasannya beragam, seperti bebas dari risiko kehamilan, bebas dari rasa curiga, bebas dari tuntutan karena tahu sama tahu. “Mereka juga berpikir bahwa seks dengan wanita itu membosankan.”
Alumnus Universitas Negeri Yogyakarta itu merasa banyak kejanggalan dengan LGBT. Karena dari ratusan orang yang ia ajak berdialog, mereka justru tak mendapat tempat yang tepat. Bukannya berubah, kata Sinyo, banyak di antara mereka yang justru kukuh menjalani kehidupannya sebagai LGBT akibat stigma negatif dari orang-orang sekitarnya. “Padahal mereka butuh curhat, ada yang mau menerima. Mereka akan menjauh kalau dituding sebagai penyakit dan pendosa,” ujar dia.
Melalui pendekatan sebagai seorang sahabat, ia mendampingi para narasumber tulisannya menghadapi ketertarikan sesama jenis. “Saya cuma bilang, kamu itu nggak sesuai fitrahmu. Intinya komunikasi tapi dengan pilihan diksi yang berbeda.”
Dengan sabar, Sinyo mendengarkan cerita mereka. Rata-rata setiap bulan, ia mendampingi 5 orang sejak tahun 2008 hingga 2014. Dari berbagai pengalamannya berinteraksi dengan kalangan LGBT, ia menulis sebuah buku berjudul “Anakku Bertanya Tentang LGBT” pada tahun 2014 sekaligus mendirikan Yayasan Peduli Sahabat.
Setelah bukunya terbit, ia kebanjiran dukungan. Mulai dari kalangan psikiater, psikolog, dan para ahli lainnya. Sejak berdiri pada 14 Maret 2014, Yayasan Peduli Sahabat kini telah memiliki cabang pendampingan di 40 kota. “Semuanya bersifat sosial, mereka nggak dibayar sama sekali,” tutur Sinyo.
Peduli Sahabat mendampingi beberapa tipe klien. Antara lain orang non-heteroseksual yang ingin hidup di jalan agama dan adat setempat, keluarga yang bingung menyikapi kerabatnya mempunyai kecenderungan homoseksual, maupun suami atau istri yang pasangannya memiliki ketertarikan terhadap sesama jenis. “Kami membimbing mereka agar bisa hidup dengan identitas heteroseksual dan nyaman di jalan agama dan adat setempat,” ujar dia.
Sinyo menambahkan, sejatinya terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara mereka yang memiliki ketertarikan terhadap sesama jenis atau Same Sex Attraction (SSA) dengan LGBT. Menurutnya, LGBT adalah identitas sosial sebagai bentuk penerimaan diri, pencitraan, dan aktualisasi diri sebagai lawan dari identitas heteroseksual. “Itulah mengapa kaum LGBT juga ingin diakui eksistensinya di mata masyarakat sampai tataran persamaan legalisasi pernikahan, dan lain sebagainya,” ujarnya.
Sedangkan SSA merupakan bentuk orientasi seksual sesama jenis. Ia mencontohkan, orang dengan SSA dan pernah melakukan seks sesama jenis, belum tentu mau disebut sebagai LGBT. “Kesimpulannya, SSA belum tentu LGBT. Tapi kalau LGBT, sudah pasti mempunyai SSA.”
Maka tak heran, masih banyak orang SSA yang tidak ingin menjadi LGBT. Mereka ingin hidup secara identitas heteroseksual seperti yang ada dalam agama atau adat setempat.
Namun Sinyo menampik tudingan bahwa dirinya membantu orang-orang homoseksual agar memilih identitas heteroseksual sebagai munafik. Sebab, mereka menikah atas dasar agama. “Bagaimana mungkin orang yang mematuhi agama dikatakan munafik? Soal cinta itu juga urusan lain, cinta tidak selalu berhubungan dengan orientasi seksual,” katanya.
ARTIKA RACHMI FARMITA
https://m.tempo.co/read/news/2016/02/20/058746687/pria-ini-tempat-curhat-lgbt